Jakarta (ANTARA News) - Pimpinan kelompok DPD di MPR John Pieris menilai sistem ketatanegaraan Indonesia belum sempurna, sehingga perlu dilakukan penataan kembali melalui amandemen konstitusi.

“Mengapa saya tegaskan belum sempurna, karena terkadang antar lembaga negara ada saling tarik menarik kebijakan dan adanya konflik kepentingan dalam soal kebijakan sebagai contoh soal tax amnesty dan masih banyak lagi,” ujar dia dalam "Dialog Ini Baru Indonesia" di Gedung Parlemen, Rabu, seperti dalam keterangan tertulis MPR.

Konstitusi, lanjut Pieris, adalah sumber hukum tertinggi di negara Indonesia sekaligus menjadi payung hukum dibawahnya seperti UU sampai peraturan daerah. Namun, dalam pelaksanaan menuju penataan sistem ketatanegaraan itu memang banyak hambatan, salah satunya karena kentalnya konflik kepentingan. Soal wacana penguatan DPD misalnya.

Pieris menilai, dalam perjalanannya, banyak sekali pendapat miring yang mengatakan bahwa penguatan DPD berarti pelemahan kewenangan DPR.

“Penguatan DPD berarti pelemahan DPR itu sama sekali tidak benar, yang ada malah akan semakin saling menguatkan satu sama lain dengan adanya check and balances yang kuat," kata dia.

"Ingat Indonesia menganut sistem bikameral atau dua kamar. Check and balances system akan saling menyeimbangkan dan menguatkan peran antara DPR dan DPD. Intinya denga adanya penataan, kami ingin dan semua rakyat ingin agar sistem ketatanegaraan Indonesia jauh lebih baik,” imbuh Pieris.

Sementara itu, menurut pakar hukum tatanegara dan anggota Lembaga Pengkajian MPR RI Margarito Kamis, kini banyak sekali praktek-praktek ketatanegaraan yang menabrak konstitusi malah dikerjakan. Di antaranya, fenomena calon tunggal dan independen pada Pilpres 2019 dan Pileg serentak yang merupakan hasil putusan MK. Bahkan ada beberapa terkesan kontradiktif dan ambigu.

“Saya rasa harus ada aturan memberi kewenangan kepada MPR RI untuk mereview keputusan MK yang melampaui kewenangan konstitusi apapun itu. Nanti, MPR yang harus putuskan,” kata dia.

Diutarakan Margarito, hal paling kental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah nuansa politiknya. Hal ini tergantung pada individu-individunya. Jika yang keluar adalah kesepakatan bersama untuk kepentingan bangsa dan negara serta untuk kepentingan kesejahteraan rakyat maka pelaksanaan ketatanegaraan akan jauh lebih mudah.

“Tapi jika kesepakatan tersebut hanya untuk kepentingan pribadi dan golongannya sendiri, maka praktek ketatanegaraan kita akan sangat sulit untuk semua,” pungkas Margarito.

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016