Jakarta (ANTARA News) - Ujang (40) hanya bisa mengais-ngais sisa rumahnya yang habis terbakar akibat kerusuhan yang terjadi Nagari Kampung Surau, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, akhir Juli.

Ia berharap masih ada barang-barangnya yang bisa dimanfaatkan. Hampir seluruh hartanya habis terbakar, yang tersisa hanya baju yang dikenakannya. Saat peristiwa terjadi, ia berada di luar kampung. Hanya ada istri dan anak-anaknya yang menunggui warung miliknya. Beruntung, istri dan anaknya selamat, meskipun menyisakan sejumlah trauma.

Aksi pembakaran rumah warga Kampung Surau dipicu masalah tapal batas Kabupaten Dharmasraya dengan Kabupaten Sijunjung yang sampai saat ini belum juga tuntas.

"Ini masalah lama sebenarnya, masalah tapal batas antara Nagari Kampung Surau dan Nagari Kunpar. Puncaknya ketika Nagari Kampung Surau membuat gapura sebagai tapal patas, aparat Nagari Kunpar tidak terima sehingga terjadilah kerusuhan tersebut," kata Anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Paryato.

Kerusuhan tersebut menyebabkan sebanyak 10 unit rumah warga di Kampung Surau habis terbakar. Permasalahan tapal batas, tak hanya terjadi di Sumatera Barat, tetapi hampir terjadi di seluruh Tanah Air.

Data Kementerian Dalam Negeri menyebutkan hingga saat ini, ada sedikitnya 845 sengketa perbatasan daerah baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi yang ada di Indonesia.

Sengketa perbatasan tersebut membuat terhambatnya pembangunan di sejumlah daerah menghambat pembangunan infrastruktur dan tidak optimalnya potensi daerah tersebut.

Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG), Priyadi Kardono, mengatakan permasalahan tapal batas tersebut dapat diselesaikan dengan pemanfaatan peta geospasial.

Geospasial atau ruang kebumian adalah aspek keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu objek yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu.

"Peta geospasial dapat menyelesaikan berbagai persoalan tapal batas tersebut," kata Priyadi.

Pada pertengahan Februari 2016, lanjut dia, BIG dan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) meluncurkan peta desa yang menjadi acuan dalam pembangunan desa.

Jumlah desa di Tanah Air sebanyak 74.654 desa, sementara jumlah kelurahan sebanyak 8.430 kelurahan. Dengan demikian total ada 83.184 desa dan kelurahan di Indonesia. Banyaknya jumlah desa dan kelurahan di Tanah Air menjadi tantangan besar dalam proses pembangunan.

Basis data yang akurat menjadi syarat mutlak dalam membangun desa dengan segala tantangan, kendala dan hambatannya melalui pengelolaan informasi geospasial.

"Yang terjadi saat ini, kegiatan sosial ekonomi masyarakat desa masih terbatas dan pengelolaan sumber daya alam masih belum optimal."

Peta desa menjadi rujukan dalam rencana pembangunan desa serta mendukung kebijakan percepatan dana desa.Peta desa juga akan membantu upaya inventarisasi aset, sehingga dapat digunakan sebagai modal pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Peta desa penting untuk mempercepat pembangunan desa dalam mewujudkan Nawa Cita Presiden Joko Widodo, yakni membangun dari pinggiran.

"Batas wilayah sangat diperlukan karena merupakan langkah awal untuk mengidentifikasi aset dan menginventarisasi aset yang dimiliki," kata dia.

Dalam UU 6/2014 tentang Desa disebutkan jelas bahwa batas wilayah desa dinyatakan dalam bentuk peta desa.

Peta desa merupakan data dan informasi geospasial yang akan menjadi dasar untuk perencanaan pembangunan wilayan perdesaan. Dengan adnaya peta desa, maka aparat desa dapat mengetahui batas wilayah desa, mengidentifikasi dan menginventarisasi potensi atau aset desa. Melalui peta desa, juga diketahui hal apa saja yang menjadi kendala dalam upaya pemberdayaan potensi tersebut.

Badan Informasi Geospasial (BIG) sedang menyusun peta desa yang nantinya akan digunakan sebagai petunjuk untuk pembangunan desa bagi semua pemangku kepentingan.

Peta desa tersebut juga nantinya dibutuhkan sejumlah kementerian yakni Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (Kemen ATR/BPN), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Badan Pusat Statistik.

"Peta desa bertujuan untuk mempercepat pembangunan desa dan kawasan pedesaan sekaligus sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat."



Belum Berbasis Geospasial

Sementara itu, Direktur Sarana dan Prasarana Desa Kemendes PDTT, Gunalan, mengatakan pembangunan desa selama ini belum berbasis pada peta geospasial namun masih menggunakan dasar hasil musyawarah rencana pembangunan desa.

"Padahal jika pembangunan didasarkan pada data geospasial maka perencanaan tata ruang akan lebih baik lagi," ujar Gunalan.

Sejak adanya dana desa, lanjut dia, pembangunan di desa semakin menggeliat. Sebagian besar dana desa digunakan untuk pembangunan infrastruktur.

"Amat disayangkan, pembangunan tidak didasarkan pada data geospasial. Padahal data geospasial ini diperlukan untuk perencanaan".

Oleh karena itu, dia mendorong agar pembangunan di desa didasarkan pada peta geospasial.Menurut Gunalan, jika peta desa tidak diarahkan maka pembangunan akan menjadi tidak terarah serta pencapaian tata ruang secara nasional tidak tercapai.

Kepala Pusat Standardisasi dan Kelembagaan Informasi BIG, Suprajaya, mengatakan pihaknya melakukan pemetaan batas desa dan kecamatan secara kartometris di beberapa kabupaten.

BIG bekerja sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) sedang menyelesaikan pemetaan wilayah Indonesia mulai dari desa dengan berbasis data penginderaan jauh yang lebih detail dan akurat.

"Peta berskala 1:5.000 tersebut akan menjadi rujukan dan akurat, yang dimanfaatkan untuk acuan pengambilan kebijakan," ujar Suprajaya.

Selama ini, berbagai kebijakan termasuk perencanaan pembangunan yang menjangkau daerah pinggiran tidak mengacu data akurat.Data citra satelit, lanjut Suprajaya, dapat diterapkan untuk berbagai hal misalnya untuk program dana desa yang digulirkan pemerintah.

Terdapat tiga prinsip dalam penyusunan peta desa yakni percepatan, keberpihakan dan pemberdayaan. Selain itu, terdapat tiga jenis peta desa yang sedang dibuat oleh BIG yakni peta citra (peta hasil pemotretan/perekaman alat sensor yang dipasang pada wahana satelit ruang angkasa dengan ketinggian lebih dari 400 kilometer dari permukaan bumi.

Selanjutnya, peta sarana dan prasarana yang menampilkan batas desa kesepakatan, karingan transportasi, bangunan pribadi, lingkungan terbangunan, perairan, telepon, dan sebagainya.Terakhir, adalah peta penutup lahan dan penggunaan lahan, yang menampilkan tematik desa terkait dengan tutupan lahan, fungsi lahan, dan sumber daya lahan.

"Peta desa kita lebih bagus dari Google Map karena peta kita memuat kepemilikan ruang dan bangunan. Hal itu tidak ada di Google Map."

Klasifikasi peta desa adalah peta tematik yang memuat informasi dasar yang akan digunakan untuk pembangunan desa. Hal itu diperlukan karena jumlah desa di Indonesia berbeda-beda seperti daerah pesisir, daratan, pegunungan, dan sebagainya.

BIG menargetkan bisa menyelesaikan sebanyak 3.100 peta desa pada 2016 dan pada 2019 bisa menyelesaikan sedikitnya 5.000 peta desa serta meningkatkan jumlah desa mandiri sebanyak 2.000 desa.

Oleh Indriani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016