Perbedaan hasil survei Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang diumumkan sejumlah lembaga kembali menghebohkan hajatan politik di Jakarta ini.

Warga DKI dibuat bingung oleh lembaga survei yang mengumumkan hasil survei berbeda-beda. Oleh karena itu, publik perlu mencermati hasil survei dari sejumlah lembaga tersebut.

Untuk mencermati hasil survei Pilkada yang sedang heboh ini, ada beberapa cara untuk memahami dan mengenalinya.

Hasil survei bisa berbeda apabila dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain metodologi, jumlah responden yang berbeda, faktor human error, periode waktu pelaksanaan yang berbeda dan faktor "pesanan".

Dari aspek metodologi, hasil survei berhubungan dengan metodologi yang digunakan. Jika metodologi yang digunakan berbeda maka hasilnya bisa berbeda. Jika teknik penarikan sampel berbeda, hampir dipastikan output dan hasilnya bisa berbeda. Apalagi jika penarikan sampel tidak dilakukan dengan tepat atau serampangan, pengambilan sampel tidak proporsional atau bias pada segmen tertentu, maka hasilnya akan bias pula.

Perbedaan jumlah responden yang mencolok bisa menyebabkan perbedaan hasil dalam bentuk angka atau prosentase karena ada perbedaan margin error.

Misalnya, ada dua lembaga survei yang mengukur elektabilitas bakal calon gubernur dengan jumlah responden (sampel) yang berbeda satu sama lain.

Lembaga survei A menggunakan sampel 2.200 responden dengan margin error +/- 2,8 persen, sementara lembaga survei B menggunakan jumlah sampel 440 responden dengan margin error +/- 4,8 persen.

Metodologi yang sama, jenis pertanyaan (kuesioner) yang sama dan waktu pelaksanaan yang sama, belum tentu hasilnya sama. Namun perbedaannya tetap berada pada selisih margin error antara 2,8 persen dengan 4,8 persen.

Meskipun ada perbedaan dalam bentuk angka atau prosentase antara lembaga A dengan lembaga B, perbedaannya masih dalam batas toleransi margin error apabila kedua lembaga survei melakukan survei sesuai kaidah-kaidah penelitian dengan kontrol yang ketat sehingga validitas hasil survei dapat dipertanggungjawabkan meskipun berselisih sedikit.

Perbedaan waktu pelaksanaan survei yang mencolok juga bisa menghasilkan data yang berbeda antara lembaga survei A dengan lembaga survei B, meskipun objek penelitiannya sama, jumlah sampel sama, jenis pertanyaan sama dan metodologi yang juga sama.

Asumsi perbedaan waktu pelaksanaan survei sangat relatif, bisa satu bulan, dua bulan atau lebih. Besar kecilnya perbedaan tergantung faktor yang mempengaruhi perubahan prilaku pemilih.

Perbedaan waktu pelaksanaan survei yang bisa menghasilkan data berbeda disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karena ada perubahan situasi dan kondisi yang mengakibatkan perubahan, misalnya ada dua lembaga survei yaitu lembaga A dan B sama-sama melakukan survei Pilkada DKI yang mengukur tingkat elektabilitas pasangan bakal calon gubernur dalam rentang waktu berbeda dengan menggunakan instrumen yang sama seperti tersebut di atas.

Lembaga A melakukan survei pada akhir Januari 2016, sedangkan lembaga survei B melakukan survei pada awal September 2016, maka hasilnya bisa berbeda meskipun tidak menutup kemungkinan ada beberapa hasil yang sama.

Perbedaan data yang terjadi karena beda waktu pelaksanaan survei bisa disebabkan beberapa aspek, antara lain oleh adanya sentimen isu, perubahan konstelasi politik, dinamika pertarungan politik, kinerja tim sukses, kinerja kandidat dan faktor lain yang mempengaruhi pemilih pada kurun waktu antara Februari sampai Agustus 2016.

Faktor kesalahan manusia (human error) juga bisa mengakibatkan hasil survei berbeda. Misalnya, terjadi kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja pada saat di lapangan atau pada saat entri data.

Kesalahan di lapangan yang dilakukan para surveyor bisa terjadi, misalnya surveyor tidak melakukan wawancara dengan benar, tidak melaksanakan tahapan dan prosedur dengan benar. Bahkan yang paling fatal adalah surveyor mengisi sendiri kuesioner tanpa melakukan wawancara.

Kesalahan pada saat input data oleh tim dalam tabulasi bisa fatal akibatnya jika tim survei tidak mengontrol dan memiliki sistem yang ketat untuk menjaga akurasi dan validitas data.

Pesanan


Penyebab perbedaan hasil survei yang paling fatal adalah faktor pesanan (order).

Sudah pasti, hasil survei dibuat sesuai permintaan. Biasanya survei berdasarkan permintaan ini dibuat untuk kepentingan tertentu, bisa untuk pembentukan opini atau untuk tujuan lain, misalnya agar bakal calon mendapat rekomendasi partai politik.

Yang menarik dan perlu dicermati dalam kasus perbedaan data survei Pilkada DKI adalah ada perbedaan data cukup mencolok antara dua lembaga yaitu Populi Center dengan LSI Denny JA, dalam hal elektabilitas tiga pasangan bakal calon gubernur DKI.

Kedua lembaga  sama-sama melakukan survei opini publik tentang Pemilihan Gubernur DKI. Sebenarnya banyak hasil survei dengan data berbeda-beda, tetapi perbedaan data lembaga-lembaga survei itu kurang tepat jika diperbandingkan karena ada beberapa aspek yang tidak relevan.

Yang paling pas untuk dibuat perbandingan adalah kedua lembaga itu karena dari segi waktu pelaksanaan hanya berselisih tiga hari dan waktu selesainya hanya berselisih satu hari. Selain itu, pada saat kedua lembaga turun survei, sudah ada formasi koalisi partai dan sudah ada tiga pasangan cagub yang mendaftar di KPUD DKI.

LSI Denny JA melakukan survei pada 28 September sampai 2 Oktober 2016 dengan jumlah sampel 440 responden dengan margin error +/- 4,8 persen, sedangkan Populi Center menggelar survei pada 25 September sampai 1 Oktober 2016 dengan jumlah sampel 600 responden dan margin error +/- 4 persen.

Jumlah responden (sampel) hanya berselisih 160. Selisih margin error sangat kecil, kurang dari satu persen. Pertanyaannya, mengapa hasilnya berbeda jauh?

Dari survei LSI Denny JA diketahui, elektabilitas pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) - Djarot Saiful Hidayat sebesar 31,4 persen, Anies Baswedan-Sandiaga Uno 21, 1 persen, dan Agus Harimurti Yudhoyono - Sylviana Murni 19,3 persen. Sedangkan pemilih yang belum memutuskan pilihannya (undecided voters) sebesar 28,2 persen.

Sementara itu, Populi Center merilis hasil survei yang berbeda dari LSI terkait elektabilitas tiga pasangan bakal calon gubernur.

Menurut survei Populi Center, elektabilitas Basuki Tjahaja Purnama - Djarot Saiful Hidayat 45,5 persen, Anies Baswedan - Sandiaga Uno 35,5 persen, Agus Harimurti - Sylviana 15,8 persen dan jumlah pemilih yang belum memutuskan 15,2 persen.

Dari data itu terlihat sangat jelas ada perbedaan yang sangat mencolok, dan yang paling mencolok adalah perbandingan elektabilitas Ahok-Djarot dengan elektabilitas Anies-Sandiaga.

Pada survei LSI, elektabilitas Ahok-Djarot hanya 31,4 persen, sedangkan elektabilitas pasangan Ahok-Djarot menurut Populi Center adalah 45,5 persen. Perbedaan angkanya besar dan fantastis, 14, 1 persen!

Namun, jika dilihat dari selisih elektabilitas antara Ahok-Djarot dengan Anies Baswedan-Sandiaga pada kedua lembaga itu nyaris sama, yaitu pada kisaran 10 persen. Pada survei LSI, selesihnya 10,3 persen, sedangkan pada survei Populi selisihnya 10,5 persen.

Perbedaan yang cukup besar terjadi juga pada jumlah pemilih yang belum memutuskan. Pada LSI angkanya cukup signifikan,  28,2 persen. Sedangkan dari hasil survei Populi Center, jumlah pemilih yang belum memutuskan adalah 15,2 persen atau lebih kecil dari angka yang dihitung LSI.

Jadi, ada perbedaan jumlah pemilih yang belum memutuskan sekitar 13 persen.

Untuk elektabilitas Agus-Sylviana pada kedua lembaga itu masih relatif seimbang karena perbedaan antara hasil survei LSI dengan Populi hanya 3,5 persen, masih di ambang margin error.

Perbedaan hasil survei seperti itu tentu memancing pertanyaan publik. Hasil survei mana yang layak dipercaya dari kedua lembaga itu. Mengapa ada perbedaan data yang cukup mencolok?  Apakah ada kesalahan yang disengaja atau tidak disengaja? Atau apakah hasil survei yang dirilis itu adalah "pesanan" dari salah satu pasangan calon, demi membentuk opini publik belaka atau bahkan peluang lembaga survei untuk menjadi konsultan salah satu pasangan calon.

Jika pertanyaan-pertanyaan ini  tidak segera terjawab, maka fakta yang akan menjawabnya.

Kita tunggu babak-babak berikutnya sampai akhir Pilgub DKI nanti.

Yang pasti sederet pertanyaan itu menjadi tantangan bagi lembaga survei untuk membuktikan bahwa hasil surveinya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akuntabel.

*) Penulis adalah Direktur Strategi Indo Survey & Strategy (ISS)

Oleh Karyono Wibowo
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016