Yogyakarta (ANTARA News) - Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhadjir Darwin mengingatkan pemerintah untuk segera menghindari praktik segregasi ideologi politik, menjelang Pilkada serentak pada Februari 2017 mendatang.

"Pemerintah harus mengantisipasi dan menghindari terjadinya segregasi ideologi politik, menjelang pilkada 2017 mendatang," ujarnya dalam Policy Corner, di Kampus Program Doktoral Studi Kebijakan UGM, di Yogyakarta, Sabtu.

Ia mengatakan, bahwa praktik dan perilaku segregasi menciptakan dampak kebahayaan yang sangat besar bagi masyarakat.

Contohnya, kata dia, tindakan segregasi secara fisik dan spasial sudah pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia yang pernah mengalami konflik.

Seperti di Ambon dan Poso, yang mengalami segregasi fisik dan spasial.

"Adanya pembedaan kampung antar umat, ini kampung Kristen dan ini kampung Islam, ada batas yang jelas. Jadi orang Islam tidak bisa bermukim di kampungnya orang Kristen dan demikian sebaliknya. Hal itu menjelaskan semakin terciptanya segragasi sebagai suatu realitas sosial bagi masyarakat yang pernah mengalami konflik. Dampak segregasi tersebut sangat mengerikan bagi masyarakat setempat dan Indonesia secara umum," papar Muhadjir.

Sementara itu, katanya, praktik segregasi ideologi saat ini sedang dipertontonkan di DKI Jakarta melalui kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

"Tapi kalau di Jakarta, segregasinya bukan spasial tapi segregasi ideologikal. Artinya ada garis batas, ini kafir dan ini Islam," katanya.

Menurut dia, hal itu sangat berbahaya karena kemudian orang non Islam seperti kehilangan hak politik untuk menjadi pemimpin.

"Itu kan politik segregatif, dan itu berlawanan dengan konstitusi. Sebab dalam konstitusi kita tidak ada pemisahan berdasarkan atas agama, ideologi, dan etnis," papar dia.

Bahkan, katanya lagi, sejak pendiri bangsa Indonesia, yaitu Soekarno telah mengingatkan masyarakat Indonesia agar konsep agama, kesukuan, dan etnis tidak boleh mengeluarkan masyarakat dari kehidupan berwarga negara.

"Jadi, setiap warga negara Indonesia tidak boleh dibatasi untuk terlibat dalam politik dengan dasar identitas-identitas yang berdimensi agama, suku, dan ras, yang disebut SARA," jelas dia.

Ia mengatakan, bahwa karakter Jakarta adalah plural dan toleransi terhadap keberagaman, hal itu sama seperti karakter bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Kemudian, lanjutnya, jika segregasi ideologi tidak disikapi sebagai fenomena yang positif, maka akan memengaruhi masalah kerukunan hidup beragama di Indonesia.

Pewarta: RH Napitupulu
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016