Manila (ANTARA News) - Presiden Filipina Rodrigo Duterte, Minggu, menyatakan bahwa pihaknya akan mengangkat putusan arbitrase atas kontroversi Laut China Selatan saat bertemu pemimpin China dan berjanji tidak akan menyerahkan kedaulatan atau menyimpang dari putusan Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, pada Juli lalu.

Duterte mengungkapkan kunjungannya ke China pada pekan ini untuk menjelaskan titik balik hubungan bilateral, namun dia mengakui ada beberapa perhatian publik tentang pemulihan hubungan yang cepat dan meyakinkan rakyat Filipina bahwa hal itu tidak akan berdampak pada kedaulatan maritim negaranya, lapor Reuters.

Menanggapi komentar yang menyebutkan bahwa dia tidak akan bisa duduk nyaman bersama pemimpin China, Duterte mengatakan keputusan oleh Pengadilan Tetap Arbitrase akan dibicarakan dan parameter keputusan akan dibahas, tapi tidak akan ada upaya pemaksaan.

Keputusan tersebut merupakan pukulan telak atas pengakuan China di sebagian besar wilayah di Laut China Selatan. Beijing telah menolak mengakui kasus tersebut dan mencela sejumlah negara yang menginginkan China mematuhi putusan tersebut.

"Saya tidak akan mengajukan tawaran lagi di mana pun. Kami akan terus menuntut bahwa wilayah itu milik kami," katanya dalam konferensi pers di kediamannya di Kota Davao.

"Keputusan majelis internasional akan menjadi acuan," ujarnya.

Pergerakan sikap presiden yang di luar dugaan tehadap kuatnya keterlibatan China yang terjadi hanya beberapa bulan setelah keputusan arbitrase yang menimbulkan kekhawatiran kawasan atas reaksi Beijing di Laut China Selatan itu menandai perubahan mencolok dalam kebijakan luar negeri setelah Duterte memegang jabatan sebagai Presiden Filipina pada 30 Juni 2016.

Duterte berangkat ke China, Selasa, bersama sedikitnya 200 anggota rombongan dari kalangan pengusaha elit Filipina untuk memperkuat kebijakan aliansi komersial baru. Beberapa pihak mengharapkan pembiayaan perusahaan di Filipina, ekspor pertanian, investasi infrastruktur utama, dan pariwisata menjadi prioritas kunjungan ke China tersebut.

Kunjungan tersebut terjadi di tengah gencarnya komentar anti-Amerika yang disampaikan Duterte mengenai wacana hubungan jangka panjang dengan Amerika Serikat.

Pada saat dia terus mencela dan mencaci maki Washington atas kekhawatiran tentang perang berdarah pada kasus penyalahgunaan narkoba, Duterte menegaskan langkah awal strategis tentang kepatuhan konstitusi yang menjunjung kebijakan luar negeri secara independen.

Dia membicarakan keinginannya untuk mengintensifkan hubungan dagang dan hubungan kerja yang lebih dekat dengan China, namun tidak akan menghindari pembicaraan atas apa yang mereka perselisihkan.

"Tidak ada pemaksaan. Kami akan bicara, kami mungkin akan menguraikan sesuatu dalam keputusan tersebut dan menentukan batas-batas wilayah kami, zona ekonomi khusus," katanya dalam pertemuan dengan wartawan di Davao itu.

"Tidak ada tawar-menawar. Itu wilayah kami dan beberapa di antara kalian menginginkan jawaban atas pertanyaan itu. Tidak ada tawar-menawar," tegas Duterte.

Komentar Duterte itu mungkin dianggap ocehan oleh China, tetapi mungkin tidak ingin mendengar tentang putusan internasional yang sangat merugikan, dan termasuk pembatalan "garis sembilan putus-putus" berbentuk U pada peta dan paspor China. (Uu.M038)
(Uu.M038/S027)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016