Jakarta (ANTARA News) - Keuangan syariah di Indonesia terus menggeliat sejak pengaturan mengenai kegiatan ekonomi syariah di Indonesia diterbitkan pada 2008, antara lain dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Geliat itu terjadi di tengah sejumlah tantangan dan ketidakpastian seperti sulitnya mengembangkan bisnis dengan yurisdiksi yang berbeda karena terbentur regulasi lokal dan juga interpretasi terhadap syariah itu sendiri.

Selain itu, lemah dan rentannya manajemen dan tata kelola keuangan syariah serta kurangnya sumber daya manusia yang kompeten dan memiliki kapasitas memadai dalam keuangan syariah.

Di tengah kesadaran atas tantangan itu, otoritas yang bertanggung jawab dalam kegiatan ekonomi syariah, yakni Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyatakan komitmennya untuk mendorong keuangan syariah.

OJK sudah menyusun road map perbankan dan pasar modal syariah. Sementara BI menyiapkan sejumlah langkah untuk mendukung percepatan pengembangan keuangan syariah, agar produknya makin diminati oleh masyarakat dan bisa memberikan kontribusi terhadap kinerja perekonomian nasional.

Terus Berkembang
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan keuangan syariah di Indonesia terus mengalami perkembangan. Dalam delapan tahun terakhir, total penerbitan sukuk negara sebesar Rp538,9 triliun dengan nilai nominal outstanding Rp391,1 triliun.

Sementara aset sukuk syariah global pada 2015 menurut Islamic Corporation for the Development (ICD), mencapai 1,8 triliun dolar AS dengan proyeksi pertumbuhan keuangan syariah global sebesar 10 persen per tahun (gross) dari tingkat pertumbuhan ekonomi syariah.

Bahkan, pada 2020 nilai aset keuangan syariah global diproyeksikan mencapai 3 triliun dolar AS.

Perkembangan pasar dan minat instrumen syariah global tidak hanya terjadi di negara dengan mayoritas berpenduduk Islam, sebagai contohnya adalah London, Inggris, yang telah menjadi salah satu kota dengan pangsa sukuk yang besar di dunia.

Potensi secara global tersebut membuktikan bahwa keuangan syariah merupakan salah satu instrumen investasi yang menarik, sehingga masyarakat tidak perlu ragu untuk berinvestasi di instrumen syariah yang ditawarkan oleh pemerintah.

"Saya berharap basis pemberian instrumen investasi berbasis syariah di Indonesia dapat meluas dan dapat dibandingkan dengan instrumen yang lain," kata Sri Mulyani yang mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Mengenai Sukuk Negara Tabungan Seri ST-001 yang diterbitkan pemerintah, menurut dia, merupakan variasi dari sukuk negara ritel.

Penerbitan Sukuk Tabungan ST-001 merupakan langkah yang baik untuk menambah pilihan investasi bagi masyarakat sekaligus sebagai instrumen pembiayaan APBN bagi negara.

Sukuk tabungan merupakan produk baru sektor investasi syariah sukuk negara yang merupakan tabungan investasi orang perseorangan dengan jangka waktu dua tahun dan imbalan tetap yang dibayarkan tiap bulan.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menyebutkan proyeksi awal penjualan Sukuk Tabungan ST-001 mampu menghasilkan manfaat bagi negara sebesar Rp2 triliun.

Secara umum, manfaat penerbitan sukuk tabungan digunakan untuk membiayai pembangunan proyek APBN seperti jembatan, bendungan, rel kereta api, sekolah, dan jalan.

Memihak Pemerataan
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad mengatakan keuangan syariah dapat menjadi salah satu upaya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

"Prinsip-prinsip khas keuangan syariah yang memihak pada pemerataan pendapatan dan berorientasi pada kegiatan sosial lingkungan, menjadikan pengembangan sistem keuangan syariah menjadi sangat relevan dengan pencapaian target-target SDGs," kata dia.

Keuangan syariah juga tidak hanya bisa menjangkau aspek pemberantasan kemiskinan.

Namun juga mencakup peningkatan kesehatan, penyediaan pendidikan yang berkualitas, kesetaraan gender, pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, antisipasi perubahan iklim dan juga penurunan tingkat ketimpangan tingkat pendapatan.

Terkait industri perbankan syariah domestik, Muliaman mengatakan, kualitas pembiayaan telah meningkat, ditandai rasio pembiayaan bermasalah atau non-performing financing (NPF) yang turun menjadi 4,81 persen per Juli 2016.

Sementara profitabilitas atau return of assets (ROA) meningkat menjadi 1,06 persen per Juli 2016, dari 0,91 persen per Juli 2015. Adapun rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) membaik menjadi 92,78 persen dari dari 94,19 persen.

Selain itu, terjadi peningkatan kecukupan permodalan perbankan syariah yang tercermin dari kenaikan rasio kecukupan modal inti atau capital adequacy ratio (CAR), yaitu menjadi 14,86 persen per Juli 2016 dari 14,47 persen.

Sementara untuk pasar modal syariah, persentase nilai masing-masing efek syariah dari total efek per 23 September 2016 adalah saham syariah sebesar 55,97 persen, sukuk korporasi 3,88 persen, reksa dana syariah 3,76 persen dan sukuk negara sebesar 15,08 persen.

Sedangkan perkembangan industri keuangan non bank (IKNB) Syariah sampai Juli 2016, total asetnya meningkat 23,18 persen menjadi Rp80,1 triliun. Pertumbuhan aset didominasi oleh penambahan pelaku usaha serta pengembangan produk dan layanan IKNB Syariah.

Sementara itu, sukuk Indonesia di lingkup global telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan yang mencapai sekitar 23,3 persen, atau sekitar 10,15 miliar dolar AS dari total penerbitan sovereign sukuk internasional. Indonesia merupakan negara pertama yang memiliki sukuk retail.

Muliaman menyampaikan bahwa pasar modal syariah juga bisa berperan signifikan dalam membantu pembiayaan proyek-proyek infrastruktur pemerintah, terutama melalui pengembangan pasar sukuk.

Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal OJK Sarjito menilai masa depan keuangan syariah masih menjanjikan kendati pertumbuhan ekonomi global masih mengalami perlambatan.

"Saya yakin masa depan industri keuangan syariah menjanjikan. Meskipun demikian, masih banyak tantangan dan ketidakpastian," katanya.

Menurut dia, industri keuangan syariah di Indonesia menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Berdasarkan Laporan Indonesia Islamic Finance, aset industri keuangan syariah tumbuh 10 persen pada 2015 yakni mencapai Rp617 triliun.

Pertumbuhan tersebut melampaui pertumbuhan aset keuangan konvensional. Tren yang sama juga terjadi pada negara-negara lain yang mengembangkan keuangan syariah.

Kendati demikian, setelah mengalami pertumbuhan double digit pada dekade-dekade sebelumnya, beberapa ekonom memprediksi pertumbuhan industri keuangan syariah kemungkinan besar akan melambat pada tahun ini.

Pelambatan itu seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, ketidakpastian politik, harga minyak dan komoditas yang menurun, dan perubahan-perubahan yang cepat dalam kerangka regulasi global.

Sehubungan dengan itu, OJK mengharapkan pelaku usaha sektor riil memanfaatkan sistem keuangan berbasis syariah dalam mengembangkan usahanya.

Dengan demikian keuangan syariah mampu memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap kinerja perekonomian nasional.

Oleh Ahmad Buchori
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016