Jakarta (ANTARA News) - Selama dua tahun pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla memimpin Indonesia, dapat dikatakan program Indonesia Sehat adalah salah satu yang memiliki hasil yang baik.

Hal itu terbukti dengan meningkatnya jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), ssat ini ada 168,8 juta atau hampir 170 juta warga Indonesia telah menjadi peserta BPJS Kesehatan.

"Angka ini cukup besar dan kenaikannya sangat progresif," kata Menteri Kesehatan Nila F Moeloek saat memberikan arahan pada acara Seminar Nasional Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia di Jakarta, Rabu.

Nila berharap meningkatnya jumlah peserta BPJS, maka pihak BPJS dan juga rumah sakit akan dapat mengendalikan biaya karena BPJS Kesehatan menalangi biaya kesehatan tanpa terkecuali.

"Kendali biaya jangan sampai mengurangi mutu pelayanan kepada peserta BPJS," kata Nila

Ketua Persi (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) Kuntjoro Adi Purjanto mengatakan peningkatan peserta BPJS kesehatan bukan hanya dari masyarakat, bahkan rumah sakit yang mau melayani peserta BPJS juga semakin banyak.

Saat ini sudah ada 25.654 fasilitas kesehatan yang terdiri dari 20.663 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, 2.028 fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan, 2.009 apotek dan 953 optik untuk melayani pasien JKN.

"Kalau rumah sakit pemerintah semuanya melayani BPJS Kesehatan, dan sekarang rumah sakit swasta semakin banyak, jumlahnya lebih banyak dibandingkan rumah sakit pemerintah," kata dia.

Dengan membayar iuran setiap bulannya sesuai tingkat yang dipilih seluruh biaya kesehatan peserta BPJS Kesehatan ditanggung oleh pemerintah.

"Bahkan sekarang banyak masyarakat yang kurang mampu dapat memasang ring di jantung, dan itu ditanggung oleh BPJS," kata dia.

Salah satu contoh kasus penanganan biaya kesehatan oleh BPJS adalah kasus obesitas bocah Karawang berusia 10 tahun.

Arya Permana yang berbobot 190 kilogram mendapat penanganan oleh Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dan biayanya ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan sementara Pemkab Karawang hanya menanggung biaya operasional keluarga Arya selama masa perawatan satu bulan di RSHS Bandung.

Sepanjang 2016, pemerintah telah membayarkan Rp20 triliun sebagai iuran jaminan kesehatan untuk 40 persen penduduk dengan kondisi soisal ekonomi terendah di Indonesia.

Meski demikian, masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah dalam menyempurnakan program JKN, salah satunya masalah obat.

Pakar Ekonomi Kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, Prof Hasbullah Thabrany mengatakan ersedianya obat yang efektif sekaligus murah menjadi tantangan dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Menurut dia sebelum program JKN berjalan, para dokter kerapkali meresepkan obat tanpa mempertimbangkan daya beli masyarakat.

Namun, seiring dengan diberlakukannya program JKN, maka dokter perlu mengubah perilaku ini.

"Dengan adanya program JKN, dokter perlu meresepkan bukan hanya obat efektif tetapi juga murah. Ini tantangan terbesar kami," ujarnya yang merupakan salah satu inisiator program JKN, dalam media briefing di Jakarta, Selasa.

Senada dengan Hasbullah Ketua International Pharmaceutical Manufactures Group (IPMG), Luthfi Mardiansyah, mengungkapkan tingkat keampuhan obat memiliki pengaruh dalam pembiayaan program JKN.

Oleh karena itu, menurut Luthfi, agar implementasi program JKN berjalan sukses, maka diperlukan peningkatan kesadaran mengenai praktik kesehatan dengan pembiayaan efisien dalam sektor industri farmasi menjadi penting.


Kesehatan Untuk Wilayah Terpencil

Menteri Kesehatan Nila F Moelok mengakui masih ada kesenjangan dalam pelayanan kesehatan, masih banyak masyarakat di daerah terpencil yang sulit mendapatkan akses kesehatan.

Dia menginginkan Persi (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) untuk dapat mengatur distribusi pelayanan kesehatan hingga ke wilayah terpencil.

Pemerintah berusaha memberikan layanan yang berkualitas pada masyarakat di wilayah terpencil dan perbatasan.

Sebanyak 838 tenaga kesehatan bernama Tim Nusantara Sehat yang terdiri atas dokter, bidan, perawat dan tenaga kesehatan lainnya disebar di 158 puskesmas di daerah-daerah terpencil.

Pemerintah juga mengirimkan Tim Nusantara Sehat untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkulaitas di daerah terpencil dan perbatasan.

Jumlah puskesmas dan rumah sakit pun terus meningkat, pada 2015 jumlah puskesmas sebanyak 1.179 namun kini sudah meningkat menjadi 1.256 puskesmas.

Tak hanya itu, Indonesia juga berkomitmen untuk memberantas penyakit kaki gajah atau Filariasis, ditargetkan pada 2020 Indonesia menjadi negara yang bebas penyakit tersebut.

Pada 1970, prevalensi penyakit kaki gajah di Indonesia mencapai 19,6 persen, kemudian prevalensi Filariasis di 2014 angka turun menjadi 4,7 persen.

Penyakit itu menyebabkan terjadinya kecacatan tetap, menurunkan derajat kesehatan masyarakat, mengganggu pembangunan manusia, mengganggu perekonomian dan menimbulkan masalah sosial bagi rakyat, oleh sebab itu upaya eliminasi Filariasis, sudah mulai dilakukan sejak 2015 dan akan terus dilakukan sampai dengan 2020.

Pemerintah memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai penyakit kaki gajah serta memberikan bantuan obat Albendazol dan Diethylcarbamazine untuk mencegah tumbuhnya cacing Filaria yang menyebabkan penyakit kaki gajah.

Pemberian obat dilakukan selama lima tahun dengan melaksanakan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) kepada sekitar 102 juta orang di 239 kabupaten/kota yang endemis kaki gajah, termasuk Kabupaten Gunung Mas.

Nila mengatakan pemberantasan kaki gajah di seluruh Indonesia juga memerlukan peran aktif masyarakat. Sebab, pemerintah tidak mungkin mewujudkan Indonesia bebas kaki gajah sendirian tanpa dukungan dan keterlibatan seluruh lapisan masyarakat.

Oleh Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016