mayoritas besar masjid-masjid berbahasa Arab lebih konservatif ketimbang masjid-masjid Turki
Cologne, Jerman (ANTARA News) - Hani Salam selamat dari perang saudara di Suriah setelah menempuh perjalanan dari Mesir sampai Eropa di Jerman. Namun dia berubah khawatir begitu mendapati banyak pria-pria berjanggut panjang di masjid dekat tempat tinggalnya sekarang di Cologne, Jerman.

Penampilan pria-pria ini mengingatkan dia kepada Jaish al-Islam, pemberontak islamis yang menduduki kota kelahirannya dekat Damaskus.  Salam (36) berkumis tetapi tidak berjenggot.

Seorang dari pria-pria berjenggot lebat itu berkata kepada Salam bahwa "muslim yang baik itu memelihara jenggot, bukan kumis."  Pandangan ini mengingatkan dia kepada ajaran ratusan tahun yang sudah ditolaknya.

"Segala hal tentang masjid ini membuat saya merasa tidak tenang," kata dia.

Orang-orang Suriah di Jerman mengatakan banyak masjid Arab di Jerman lebih konservatif ketimbang negeri asalnya Suriah.

Selama dua bulan, lusinan orang Suriah di enam masjid di tiga kota mengaku kepada Reuters bahwa mereka merasa tak nyaman dengan pesan-pesan amat konservatif di masjid-masjid Arab di Jerman.

Orang-orang muslim lama Jerman ini mengkritik cara para pendatang baru dari Suriah dalam berpakaian dan mempraktikkan ajaran Islam. Beberapa dari pria-pria berjanggut tebal itu menyatakan Alquran harus ditafsirkan kata per kata.

Soal ini menciptakan masalah di negeri yang belakangan ini dilanda banjir pengungsi yang sudah menciptakan konsekuensi politik dan sosial yang dalam. Orang-orang Suriah menyebut ajaran ultrakonservatif di masjid-masjid Arab turut menambah ketidakpercayaan warga Jerman terhadap muslim.

Jerman sebenarnya menerima dengan tangan terbuka kaum muslim. Dan sebagian besar dari empat juta penduduk muslim Jerman adalah keturunan Turki. Kaum muslim keturunan Turki berpandangan lebih moderat. Tak hanya Jerman yang nyaman dengan mereka, kaum muslim pendatang dari Suriah juga merasa lebih nyaman beribadah di masjid-masjid berbahasa Turki yang sebagian didanai pemerintah Turki.

Tahun lalu sekitar 890 ribu pencari suaka yang sekitar 70 persen di antaranya muslim, memasuki Jerman. Sepertiganya berasal dari Suriah. Kebanyakan dari mereka tidak mau pergi ke masjid-masjid Turki karena tidak mengerti bahasa Turki. Mereka lebih memilih sembahyang di mana ada orang yang berbahasa Arab.‎

Tapi di masjid-masjid Arab ini mereka justru menghadapi masalah. Majid-masjid yang kerap kekurangan dana dan mendapat dukungan Arab Saudi dan negara-negara Teluk itu kerap mengajarkan ajaran ultrakonservatif yang menafsirkan Islam secara harafiah, seperti Wahhabisme atau Salafisme.

"Sayangnya benar bahwa mayoritas besar masjid-masjid berbahasa Arab lebih konservatif ketimbang masjid-masjid Turki," kata Profesor Mouhannad Khorchide yang mengepalai Pusat Teologi Islam pada Universitas Muenster. Ajaran ini menjadi masalah bagi integrasi mereka yang tidak konservatif.

Di Cologne, Salam mengatakan 75 warga asal Suriah tinggal di hotel yang sama bak sebuah keluarga. Dari jumlah itu, hanya seorang wanita berjilbab yang mau sembahyang di masjid Arab terdekat.

"Sekali waktu ketika saya ke sana, seorang Salafis menyuruh seorang pemuda Arab pergi karena dia mengenakan celana pendek. Di masjid Turki tidak ada yang mempedulikan apa yang Anda kenakan," kata dia.

Tetapi seorang imam masjid Arab tidak peduli dengan perasaan tidak nyaman orang-orang Suriah yang datang ke masjidnya. Dia berkata, "Merupakan kehormatan telah disebut Salafis. Kami hanya berniat mengajarkan Islam yang murni kepada masyarakat."

Salam sendiri kini tak lagi salat di masjid Arab. Dia memilih sembahyang dan salat Jumat di masjid Turki, walaupun dia tidak mengerti bahasa Turki yang disampaikan khatib, demikian Reuters.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016