Jakarta (ANTARA News) - Sumpah Pemuda yang diperingati tiap 28 Oktober bukan sebatas momen bersejarah yang harus dikenang melalui upacara dan acara hiburan, tetapi tanggal itu adalah pengingat bagi generasi muda Indonesia, perjuangan rakyat melawan "penjajah" belum berakhir.

Kembali mengingat 88 tahun lalu, organisasi kepemudaan dari seluruh wilayah di Tanah Air berkumpul menghadiri Kongres Pemuda yang berlangsung selama dua hari di Jakarta.

Pertemuan itu ditutup dengan rumusan tiga butir sumpah: "Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa".

Pengakuan terhadap kesatuan saat itu dianggap penting karena perjuangan mengusir penjajah tidak dapat dilakukan secara terpisah dan "kedaerahan".

Soegondo Djojopuspoespito, ketua Kongres Pemuda II, dibantu Senduk, Johannes Leimena, Mohammad Jamin, R.M Djoko Marsaid, Amir Sjarifuddin, Rochjani Soeoed dan 71 peserta lainnya ingin menyatakan bahwa persatuan merupakan kunci keberhasilan melawan kuatnya kekuasaan penjajah.

Berselang 17 tahun kemudian, negeri ini memang lepas dari cengkraman Belanda.

Namun, "penjajah" selalu punya wajah baru yang kerap menindas dan membatasi kebebasan rakyat. Ancaman terhadap "penjajah" semacam itu sempat diungkap Bapak Pendiri Bangsa Bung Karno dalam salah satu pidatonya, "perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah (Belanda), tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena akan melawan (penjajah dari) bangsamu sendiri".

Salah satu cendekiawan dan aktivis muda Indonesia, Soe Hok Gie dalam "Catatan Harian Seorang Demonstran" (1983) menulis bahwa generasi muda mengemban tugas memberantas generasi yang mengacau, dan punya kewajiban memakmurkan bangsa Indonesia.

"Generasi pengacau" sebagaimana diungkap Gie tampaknya merujuk pada golongan masyarakat yang korup dan apatis. Baginya, kelompok itu adalah wajah lain "penjajah" yang menjadikan perjuangan rakyat tidak pernah selesai walau negeri ini sudah merdeka.

Pasalnya, perjuangan menurut Gie bukan hanya lepas dari cengkraman imperialisme dan kolonialisme, tetapi juga lebih jauh, rakyat dapat mencapai keadilan, kemakmuran, kebebasan, juga persaudaraan.

Pertanyaannya kemudian, apakah "kemerdekaan" semacam itu sudah terwujud? Apakah keadilan sosial sebagaimana diungkap sila kelima Pancasila sudah dapat dirasakan seluruh elemen masyarakat?


Direnungkan

Retorika semacam itu memang bukan untuk dijawab, tetapi untuk direnungkan, khususnya bagi generasi muda yang dianggap mengemban harapan bangsa. Namun untuk menjalankan tugas itu, generasi muda mesti menjadi seorang "intelektual" sebagaimana diungkap Antonio Gramsci, seorang filosof dan politisi asal Italia lewat bukunya, "Prison Notebooks".

Gramsci mengatakan, hegemoni "penjajah" hanya dapat terungkap dan digugat keberadaannya oleh para "intelektual organik". Baginya, seluruh individu adalah seorang "intelektual", tetapi tidak semua orang menggunakan intelektualitas itu dalam memperjuangkan rakyat.

Ia menjelaskan, intelektual bukan hanya akademisi yang mendiami "menara gading",sehingga sebaiknya mereka adalah para penggerak dan perintis perubahan sosial menuju masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.

Kapasitas semacam itu yang tampaknya dibutuhkan generasi muda saat ini agar mampu membongkar kedok "penjajah pribumi" demi mewujudkan lima sila Pancasila seperti diharapkan para pendiri bangsa.


Relevansi Sumpah Pemuda

Generasi muda negeri ini memang dihadapkan pada banyak masalah yang tampaknya cukup runyam dan rumit dipecahkan. Pasalnya mereka harus menghadapi "penjajah pribumi" yang agaknya cukup berkuasa di negeri ini.

Beranjak dari hal itu, Sumpah Pemuda dianggap kembali relevan untuk dibahas demi menyelesaikan persoalan tersebut.

"Sumpah Pemuda bermakna bahwa kaum muda berkomitmen untuk menjaga semangat perjuangan bangsa ke arah keadilan, persatuan, kesejahteraan, dan keadilan sosial," kata sekretaris Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Depok, Dwi Gema Kumara kepada Antara belum lama ini.

Ia menambahkan, Sumpah Pemuda seyogianya tidak diperingati sebatas urusan seremonial belaka.

"Hal yang lebih penting adalah penghayatan terhadap semangat Sumpah Pemuda dan implementasinya".

Penghayatan itu penting dilakukan karena generasi muda wajib membebaskan masyarakat dari cengkraman "enjajah pribumi" yang menindas rakyat.

Contoh penindasan diantaranya korupsi, ketidakadilan sosial yang disokong praktik kartel, perampasan lahan korporasi dari petani, hingga pembangunan tak berkelanjutan yang merusak alam, merugikan masyarakat adat, dan generasi penerus di masa depan, tambahnya.

"Generasi muda dapat memulai dengan mengingat sejarah agar tidak mengalami krisis identitas. Anak muda saat ini banyak apatis dan oportunis, terjerat ke dalam tren hidup konsumtif. Kontribusi terhadap perjuangan rakyat dapat dilakukan jika kita mau bewrsama-sama kembali ke Pancasila sebagai filosofi bangsa" ungkapnya.

Senada dengan itu, mantan ketua Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Universitas Indonesia 2015, Firman Arif mengatakan, Sumpah Pemuda menunjukkan semangat nasionalisme yang seyogianya terus dihayati generasi muda.

"Babak baru perjuangan kemerdekaan dimulai sejak 1908, ketika " masih terjadi di negeri ini," ujarnya.

Sumpah Pemuda dapat menjadi momentum untuk mengembalikan kepedulian generasi muda terhadap persoalan bangsanya.

"Indonesia memiliki jumlah anak muda yang cukup banyak, tetapi bonus demografi" itu punya dua sisi mata uang karena dapat menjadi keuntungan atau masalah.

Negeri ini tentunya tak membutuhkan angkatan muda yang apatis, tidak kritis, juga kurang kreatif," tambah Firman.

Sumpah Pemuda yang rutin diperingati tiap tahun adalah pengingat bagi seluruh generasi muda bahwa masih banyak ketidakberesan terjadi di negeri ini. Ketiga sumpah itu hendak menunjukkan bahwa perjuangan rakyat melawan "penjajah pribumi" tidak dapat dilakukan secara terpisah oleh mahasiswa, aktivis, buruh, sekelompok petani dan nelayan yang haknya telanggar, masyarakat adat, berikut wong cilik.

Sumpah Pemuda mengingatkan persatuan tetap menjadi "senjata" penting menyudahi penindasan "penjajah pribumi" yang tampak laten dalam kehidupan masyarakat.

(KR-GNT/A011)

Oleh Genta Tenri Mawangi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016