Timika (ANTARA News) - Kapten Parhat Limi (56), pilot pesawat DHC 4 Turbo Caribou PK-SWW yang pada Senin (31/10) menabrak gunung di perbatasan Jila-Ilaga, sudah 20 tahun terbang di Papua menurut rekannya, Deputi Operasi maskapai Trigana Air Service Kapten Beni Sumaryanto.

"Kapten Parhat itu seorang pilot yang handal. Dia juga seorang instruktur yang jam terbangnya di Papua sudah di atas 15 ribu," kata Beni.

"Beliau sudah 20 tahun terbang di Papua. Saya juga sudah terbang di sini sejak 1992," kata Beni, yang mengenal dekat Kapten Pilot Parhat.

Beni dan Parhat sama-sama pilot senior di maskapai Trigana Air Service, keduanya sudah 20 tahun bertugas di wilayah Papua yang medannya dikenal ekstrem dengan banyak gunung tinggi, berangin kencang, sering diselimuti kabut, cuacanya sering berubah.

Ia mengatakan kecelakaan pesawat di Papua salah satunya terjadi karena kondisi cuaca ekstrem yang berubah sewaktu-waktu.

"Banyak insiden penerbangan di Papua itu karena pengaruh iklim, cuaca dan alam Papua. Banyak kejadian di Papua ini disebabkan oleh faktor cuaca dan alam," jelasnya.

Pilot pesawat maskapai Trigana Air Service, Winner Sormin, juga menyebut Parhat sebagai pilot andal yang sudah menguasai medan penerbangan di Papua.

"Dia bukan sekedar sangat berpengalaman, tapi dia juga instruktur saya. Dia sudah lama di Trigana, lebih dahulu dari saya," tutur Winner.

Sementara Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Mimika John Rettob juga mengatakan bahwa Parhat adalah pilot sudah sangat memahami seluk-beluk penerbangan di wilayah Papua.

"Di Papua ini siapa yang tidak mengenal Pilot Parhat. Orang katakan, Pilot Parhat itu pilot gunung yang sangat mengerti penerbangan di wilayah Papua. Terbang di wilayah Papua itu tidak mudah. Pilot harus mengenal medan Papua, anginnya, cuacanya dan lainnya," katanya.

John mengaku mengenal Parhat dengan baik. "Orangnya familiar, suka membantu orang, terbang rajin, dia bersahabat dengan semua orang," tutur John.

"Satu lagi pilot yang sangat berpengalaman terbang di Papua pergi untuk selama-lamanya. Kami semua berduka," kata John.

John menambahkan bahwa mendapatkan pilot yang bisa menerbangkan pesawat ke wilayah-wilayah pegunungan Papua tidak mudah.

"Kalau mau mencari pilot untuk pesawat Boeing 737 seri 800, hari ini kita buka lamaran maka akan ada 50 orang yang mendaftar. Tapi kalau untuk bawa pesawat-pesawat kecil di Papua seperti pesawat Grand Carravan atau Pilatus Porter, Twinn Otter, helikopter dan lain-lain sangat sulit. Itu yang kami alami," jelasnya.

Kapten Parhat meninggal setelah pesawat yang dia kemudikan menghantam punggung gunung pada ketinggian 12.800 kaki di atas permukaan laut di perbatasan Distrik Jila di Kabupaten Mimika dengan Ilaga Kabupaten Puncak pada Senin (31/10) pagi.

Dalam penerbangan mengangut bahan bangunan dari Bandara Mozes Kilangin Timika menuju Bandara Aminggaru Ilaga itu, Kapten Pilot Parhat ditemani oleh Kopilot R Fendy Ardianto (38), mekanik Steven David Basari (35) dan FOO Endri Baringin Sakti P (40), yang juga tewas akibat kecelakaan tersebut.

Berdasarkan pengalaman panjang mengawaki pesawat terbang di Papua, maskapai Trigana Air Service merekomendasikan Pilot Parhat untuk menahkodai pesawat Caribou milik Pemerintah Kabupaten Puncak itu.

"Kita tidak pernah memilih pilot-pilot yang baru. Pasti yang kita pilih pilot-pilot yang berpengalaman, khususnya untuk pesawat Caribou ini," jelas Beni.


Pewarta: Evarianus Supar
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016