Jakarta (ANTARA News) - Sidang perdana mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman akan digelar pada 8 November 2016 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Sidang perdana untuk perkara Irman Gusman akan digelar pada Selasa, 8 November 2016 dengan agenda pembacaan dakwaan," kata Humas Pengadilan Tipikor Jakarta Yohannes Priyana di pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu.

Berkas perkara Irman sudah dilimpahkan jaksa penuntut umum KPK dengan No 112/pid/sus/TPK/2016/PNJKT.PST pada 28 Oktober 2016.

Sidang akan dipimpin oleh ketua majelis hakim Nawawi Pamolango, Jhon Halasan Butarbutar, Franky Tambuwun, Ansyori Syaifuddin dan Muhammad Idris M Amin.

Pada sidang putusan praperadilan Irman Gusman di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Rabu ini, hakim tunggal I Wayan Karya menggugurkan gugatan praperadilan Irman Gusman karena berkas perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Sehingga status tersangka sudah berubah menjadi terdakwa dan tugas-tugas serta kewenangan dari penyidik sudah selesai dan akan menjadi kewenangan hakim majelis tindak pidana korupsi.

Ketua majelis dalam perkara Irman yaitu Nawawi Pamolango saat ini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Nawawi pernah menjadi ketua majelis hakim dalam perkara suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian dan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh orang dekat mantan presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq yaitu Ahmad Fathanah dan menjatuhkan vonis ke Fathanah selama 14 tahun penjara.

Dalam perkara ini, Irman diduga menerima Rp100 juta dari Direktur Utama CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto dan istrinya Memi sebagai ucapan "terima kasih" karena Irman memberikan rekomendasi kepada Bulog agar Xaverius dapat mendapatkan jatah untuk impor tersebut.

Irman Gusman disangkakan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016