Pekanbaru, Riau (ANTARA News) - Seorang petani dari Provinsi Riau bernama Suryono, menjadi salah satu pembicara pada KTT PBB tentang Perubahan Iklim atau COP-22, di Maroko. Suryono bicara sebagai petani yang sukses karena beralih dari praktik pertanian yang mendegradasi lingkungan, menuju ke pengelolaan lahan hutan berkelanjutan.

"Perasaan saya sangat bangga karena petani kecil seperti saya, bisa didengar di luar negeri. Semoga apa yang saya lakukan bisa jadi contoh orang lain," kata Suryono, ketika dihubungi, dari Pekanbaru, Selasa.

Ia diundang menjadi salah satu pembicara dalam satu sesi COP-22 dengan topik Putting People at the Centre-Climate Friendly Forest Based Livelihood, di Paviliun Indonesia, Bab Ighli Marrakesh, Maroko, Senin (7/11) pukul 16.00 waktu setempat. 

Ia berada di satu panggung bersama Amy Duchelle perwakilan dari CIFOR (Center for International Forestry Research), Sonya Dewi Koordinator Indonesia untuk ICRAF-CGIAR, dan Dr Hadi Daryanto Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

"Cita-cita saya berbicara di sini (forum dunia), agar menjadi inspirasi bagi petani lain, bahwa mengelola lahan dengan cocok tanam jauh lebih bermanfaat dibanding apa yang saya lakukan dulu," katanya.

Pria kelahiran Medan, Sumatera Utara, pada 1975 ini dinilai menjadi contoh petani yang berhasi melakukan mitigasi perubahan iklim dengan bertani holtikultura, menjadi informan titik api, dan turut andil menjaga lingkungan serta mencegah tejadinya kebakaran lahan dan hutan.

Suryono mengisahkan perjalanan hidupnya yang beralih dari petani kelapa sawit menjadi petani holtikultura. Dari kampung halamannya di Medan, ia merantau ke Dusun Sukajaya Kampung Pinang Sebatang Barat, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak, pada 2000 hingga sekarang. 

Di sana ia tinggal bersama istri dan tiga orang anak.

Pekerjaan awalnya sejak 2000 adalah bercocok tanam kelapa sawit di Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak pada 2007. Suryono pada 2013 menyadari bertani hortikultura lebih menguntungkan ketimbang sawit. 

Ia mengambil keputusan nekat dengan menumbangkan seluruh tanaman sawit di kebun dua hektare miliknya, dan menggantinya dengan tanaman holtikultura.

Beberapa jenis sayuran yang mulai ditanam Suryono antara lain kangkung, bayam, cabai, melon, semangka, kacang panjang, timun, pepaya, dan jagung. 

Banyak orang menduga dia sudah gila karena dalam benak masyarakat setempat, menanam sayuran tidak menguntungkan. Ia mengakui awalnya memang tidak mudah ketika masuk ke pasar tradisional, karena harus berhadapan dengan para tengkulak, yang sudah lama beroperasi untuk memasok komoditas itu dari Pekanbaru.

Namun, kerja keras Suryono mulai membuahkan hasil setelah berjualan sekitar satu tahun, sehingga banyak petani yang mulai mengikuti langkahnya untuk menanam sayuran dan menjualnya langsung ke pasar.

Ketika menjadi petani sawit dengan lahan dua hektare, Suryono mampu meraih penghasilan maksimal sekitar Rp2 juta-Rp3 juta per bulan. Namun, kini dengan mengolah lahan setengah hektare untuk ditanami sayuran, ia berhasil meraup penghasilan sekitar Rp15 juta per bulan. 

Bahkan, pada lahan yang sama itu, Suryono bisa mempekerjakan sembilah orang warga setempat.

Pewarta: FB Anggoro
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016