Beijing (ANTARA News) - Pengamat Asia Tenggara National Institute of International Strategy CASS, Xu Liping, mengatakan pemerintahan baru Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump tidak akan terlalu memfokuskan kebijakannya di Asia Pasifik yang dikenal sebagai "pivot" atau penyeimbangan kembali dengan meningkatkan kehadiran militer di kawasan.

"Hal tersebut mau tidak mau, termasuk juga akan meredakan ketegangan di Laut China Selatan," katanya, menjawab ANTARA, di Beijing, Kamis.

Namun, lanjut Xu, bukan berarti Tiongkok akan tampil penuh di Laut China tanpa saingan. "Tiongkok akan tetap mengedepankan kebangkitan damai. Tiongkok akan tetap mengedepankan stabilitas keamanan dan perdamaian untuk kepentingan nasional Tiongkok," ujarnya.

Tiongkok dan AS di era pemerintahan Trump akan lebih banyak bersaing di sektor ekonomi seperti nilai tukar mata uang, defisit perdagangan dan lainnya, daripada unjuk kekuatan di Laut China Selatan.

Xu menuturkan secara umum kemenangan Trump berpengaruh pasif terhadap kebijakan Pivot Asia AS. "Diplomasinya lebih bersifat pragmatis. Tidak terlalu idealis. Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan akan tampil lebih berperan di Asia Tenggara. Kerangka kerja sama ASEAN+3 akan semakin efektif," katanya.

Pada penghujung 2011, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, yang juga saingan Trump pada Pemilu AS pada Selasa (8/11), memperkenalkan kebijakan Pivot Asia atau rebalancing Asia.

Pivot Asia bertumpu pada perubahan fokus kebijakan luar negeri Amerika Serikat dari kawasan trans-atlantik dan timur tengah ke kawasan Asia-Pasifik. Perubahan orientasi didorong meningkatnya dinamika hubungan antara negara-negara di Asia-Pasifik akibat peningkatan kemampuan ekonomi dan militer.

Dan kebijakan pivot Asia diambil untuk mempertahankan kepemimpinan, mengamankan kepentingan, dan mengembangkan nilai-nilai Amerika di kawasan Samudera Pasifik.

Salah satu cara untuk mencapai pivot Asia adalah penguatan kerjasama aliansi bilateral dan peningkatan kehadiran militer di kawasan. Penguatan kerja sama didasarkan pada kebutuhan bersama antara negara aliansi untuk mencapai keamanan bersama.

Tiongkok dianggap sebagai sumber ancaman karena berbagai hal, mulai dari masalah persengketaan wilayah, budget militer yang tidak transparan, hingga modernisasi militer yang mulai menunjukkan superioritas terhadap militer negara lain.

Meningkatkan kehadiran militer menjadi penting karena akan memastikan Tiongkok tidak akan melakukan tindakan asertif yang dapat memicu konflik terbuka.

Pewarta: Rini Utami
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016