Semarang (ANTARA News) - Kepada para pahlawan, baik yang dikenal maupun tak dikenal, mereka, para pelajar, menyerukan komitmen membumikan aliran keteladanan atas semangat perjuangan pahlawan negeri ini.

Sebelum memberikan tanda hormat kepada para pahlawan, puluhan pelajar yang mengunjungi Museum Sudirman di Kota Magelang, Jawa Tengah, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan pada Kamis (10/11) itu, mereka menyerukan yel-yel, "Kami tak akan lupa. Kami tak pernah lupa!".

Maksudnya bahwa generasi penerus kepemimpinan negeri ini, akan selalu memijakkan kaki kehidupan berbangsa dan bernegara dalam semangat persatuan sebagaimana telah ditorehkan para pahlawan.

Kehadiran sekitar 30 pelajar dari kalangan pimpinan OSIS dan Dewan Penggalang Pramuka SMP dan MTs se-Kota Magelang di Museum Sudirman, atas inisiatif kelompok Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Kota Magelang, dengan ketua Martanto Dwi Nugroho.

Museum Sudirman di kawasan Taman Badaan Kota Magelang adalah tempat Jenderal Sudirman menutup mata pada 29 Januari 1950 dalam usia 34 tahun karena sakit paru-paru. Sang Panglima Besar kemudian dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta.

Tentang Museum Sudirman dan riwayat kepahlawanan Panglima Besar Jenderal Sudirman dijelaskan secara detail oleh petugas museum itu, Ardani, dengan disimak secara baik oleh para pelajar.

"Mengenalkan semangat kepahlawanan menjadi penting bagi generasi muda, untuk para siswa dan siswi ini. Mereka kelak menjadi pemimpin. Di Magelang, salah satu yang patut menjadi tempat menanamkan semangat perjuangan bangsa, ada Jenderal Sudirman. Beliau wafat di tempat ini," kata Martanto.

Sebelumnya, para pelajar mendapat suguhan performa seni dengan kekuatan reflektif tentang kepahlawanan di halaman museum. Dua seniman Magelang, Gepeng Nugroho dan Eka Pradhaning, menyuguhkan kolaborasi performa.

Sebelum mementaskan pantomim berjudul "Mengeja Waktu", Gepeng yang penyair itu membacakan empat puisi, masing-masing berjudul "Tanda Tanya Bakti" dan "Lupa" (karya Gepeng Nugroho) serta "Tanah Air Mata Kami" dan "Luka Sang Saka" (Eka Pradhaning).

Saat Gepeng berturut-turut membacakan empat karya sastra, Eka yang juga seniman Padepokan Tjipto Boedojo di kawasan Gunung Merapi di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, memperkuat suasana pementasan melalui performa gerak bertajuk "Luka Sang Saka".

Performa gerakannya dengan berselempang kain warna merah dan putih, juga tandai dengan menaburkan bunga mawar di halaman museum dan penghormatan kepada sang pahlawan.

Langit di atas Kota Magelang yang dikelilingi gunung-gunung tampak cerah dengan berbagai kendaraan melintas tanpa macet melewati depan Museum Sudirman, ketika menu performa seni Hari Pahlawan disuguhkan kepada pengunjung museum.

Eka yang juga pengajar tari salah satu sekolah swasta di Kompleks Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang itu, juga melakukan performa gerak di salah satu ruangan museum, tempat pemajangan replika tandu Jenderal Sudirman.

Ketika melakukan performa gerak di dekat tandu untuk membawa Jenderal Sudirman memimpin gerilya menghadapi Agresi Militer II Belanda pada 1948, ia seakan meneguk energi terbarukan atas jiwa kejuangan sang pahlawan.

Dalam sajian sejumlah puisi, terkesan Gepeng menaburkan kritik terhadap situasi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini yang seakan hendak menjauh dari semangat perjuangan para pahlawan dalam membangun fondasi kuat Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Dua warnamu adalah sang saka jati diri bangsa, yang kini terluka disayat-sayat nafsu ambisi oleh sebagian anak-anak negeri," begitu bait terakhir dari puisi "Luka Sang Saka".

Melalui puisi berjudul "Lupa", generasi bangsa saat ini sepertinya hendak diingatkan oleh sang penyair yang juga seniman teater itu, bahwa kebebasan yang telah direguk bukan untuk mengayunkan tingkah hidup tanpa kendali.

Perilaku kebablasan karena silang sengkarut kepentingan antaranak bangsa, bisa menggerus semangat persatuan dan kesatuan, serta rentan mengoyak bangunan fondasi negeri.

"Sebab jiwa kami telah kering dan terdampar terlalu jauh. Dari gerbong kebebasan, maka kami kebablasan. Sebab kesadaran kami telah termabukkan. Oleh segala warna warni pesolek dan bisikan syahwat. Maka buaslah kami di atas fondasi peradaban moyang. Hormat bendera hanya retorika. Sebab hati keruh oleh keserakahan. Pikiran goyah oleh kepentingan. Kita adalah singa yang mencabik anaknya. Kita adalah bramacorah yang meludahi muka sendiri," demikian dua di antara empat bait puisi "Lupa".

Puisi autokritik bertajuk "Tanda Tanya Bakti", bagaikan ungkapan sikap heran sang penulis setelah menempatkan pahlawan di dalam cermin, sedangkan dirinya di hadapan cermin.

"Sungguh kami tak mengerti. Jalan pikiran kami ini. Yang menempatkan Ibu Pertiwi. Sebagai pemanis kepentingan kami," begitu empat baris terakhir atas karya sastra tersebut.

Gepeng yang juga guru di salah satu sekolah swasta di Kota Magelang itu, mengemukakan bahwa para pahlawan pada masa lalu berjuang dengan bersimbah darah dan berkorban jiwa serta raga, semata-mata demi tegaknya hak bangsa dan negara Indonesia.

Akan tetapi, ujarnya, sebagian orang saat ini "beralibi" menjadi pahlawan untuk pencapaian kepentingan sendiri.

"Dulu, pahlawan berjuang untuk bangsa Indonesia, sekarang dengan bangsa Indonesia," katanya usai performa.

Kalau para siswa pengunjung museum kemudian diajak penyaji performa seni Hari Pahlawan memberikan tanda hormat kepada seluruh kusuma bangsa, hal itu rupaya tidak lepas dari curahan tekad untuk terus memperkuat bangunan NKRI, sebagaimana dua baris dari puisi panjang "Tanah Air Mata Kami".

"Sungguh kami bukan golongan dari mereka-mereka, tapi kami anak-anak pendamba kerukunan sebuah bangsa," demikian kalimat terakhir dalam puisi itu.

Oleh M. Hari Atmoko
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016