Balikpapan, Kalimantan Timur (ANTARA News) - Wakil Ketua MPR RI, Mahyudin, menyatakan perlu ada pembenahan terhadap program deradikalisasi terhadap residivis terpidana kasus terorisme.

Hal itu disampaikan Mahyudin di sela-sela rangkaian kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di beberapa kota di Kalimantan Timur, 16-18 November 2016, kala mengomentari kasus pengeboman Gereja Oikumene di Samarinda, Minggu (13/11) lalu.

"Program deradikalisasi itu harus banyak dievaluasi, karena banyak gagalnya juga. Kebanyakan mantan terpidana kasus terorisme itu ya belakangan jadi pelaku aksi serupa," kata Mahyudin.

Mahyudin merujuk pada salah satu tersangka pengeboman Gereja Oikumene, Samarinda, Juhanda yang merupakan residivis kasus terorisme yang sempat dipenjara selama 3,5 tahun sejak Mei 2011 akibat keterlibatan teror bom di Puspitek, Serpong, Tangerang Selatan, Banten.

Juhanda lantas dinyatakan bebas bersyarat setelah mendapat remisi pada Hari Raya Idul Fitri pada 28 Juli 2014 dan menetap di sebuah masjid tanpa nama di Kecamatan Samarinda Seberang serta bekerja sebagai buruh.

Lantas pada Minggu (13/11), Juhanda terlibat dalam pelemparan bom molotov di Gereja Oikumene, Samarinda, yang belakangan menewaskan salah seorang balita dan menimbulkan luka serius kepada sejumlah anak-anak lainnya.

Oleh karena itu, Mahyudin, mengusulkan pembenahan program deradikalisasi yang tertuang dalam rencana perubahan undang-undang antiteror.

"Yang paling penting itu kepolisian diberikan payung hukumnya seperti apa, saya bilang penguatan terhadap undang-undang anti terorisme. Darj situ nanti akan dijabarkan oleh kepolisian dengan program-program konkrit bagaimana mengantisipasi terjadinya hal seperti ini," ujarnya.

Di sisi lain, Mahyudin mengutuk keras peristiwa tersebut yang telah mencederai kehidupan toleransi antar umat beragama yang selama ini sudah terjaga baik di Samarinda dan Kaltim pada umumnya.

Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016