Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan kekecewaannya terhadap pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin (21/11) malam.

"Tentu saya sangat kecewa terhadap tindakan aparat pajak terutama pada saat kami semuanya dalam proses membangun kembali kepercayaan wajib pajak melalui Tax Amnesty, yakni kepercayaan dua belah pihak dari wajib pajak dan aparat pajak," kata Menkeu dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa.

Menurutnya, tindakan yang dilakukan oknum HS dari Direktorat Jenderal Pajak mencerminkan suatu pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip dan tata kelola yang baik, efektivitas dan kejujuran yang selama ini menjadi nilai-nilai yang dianut oleh Kementerian Keuangan dalam hal ini Ditjen Pajak.

"Ini tindakan yang mencederai nilai-nilai dan tentu mencederai kepercayaan dari kolega-kolega yang lain. Seperti dikatakan pimpinan KPK sebagian besar pegawai Ditjen Pajak adalah aparat yang punya komitmen tinggi untuk membangun kepercayaan publik guna mengumpulkan kewajiban pajak bagi kebutuhan negara ini untuk membangun," tuturnya.

Jadi, kata Menkeu, ini suatu tindakan pencederaan yang sangat serius dan mengecewakan ke seluruh jajaran aparat Ditjen Pajak dan termasuk saya sendiri sebagai Menteri Keuangan yang secara pribadi sangat kecewa.

Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan kronolgi Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada Senin (21/11) malam.

"KPK menggelar OTT terhadap dua orang pada Senin (21/11) di daerah Kemayoran, Jakarta. Kedua orang tersebut adalah R. Rajamohanan Nair (RRN), Direktur PT EK Prima Ekspor Indonesia (EKP) dan Handang Soekarno (HS), Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak," kata Agus.

Turut juga diamankan tiga orang staf RRN, masing-masing di Tangerang Selatan, Jakarta, dan Surabaya serta satu orang sopir dan ajudan HS.

Pada Senin (21/11), pukul 20.00 WIB terjadi penyerahan uang dari RRN ke HS di kediaman RRN di Springhill Residences, Kemayoran.

"Seusai penyerahan, penyidik mengamankan HS beserta sopir dan ajudan pada pukul 20.30 WIB saat keluar dari kediaman RRN. Dari lokasi diamankan uang sejumlah 148.500 dolar AS atau setara Rp1,9 miliar," kata Agus.

Setelah itu, penyidik menuju kediaman RRN untuk mengamankan RRN untuk kemudian membawa keduanya dilakukan pemeriksaan.

"Dua staf RRN diamankan di kediaman masing-masing di daerah Pamulang, Tangerang Selatan dan Pulomas, Jakarta Timur. Selain itu penyidik juga mengamankan staf lainnya di Surabaya," tuturnya.

Agus menyatakan uang tersebut diduga terkait dengan sejumlah permasalahan pajak yang dihadapi PT EKP antara lain terkait dengan Surat Tagihan Pajak (STP) sebesar Rp78 miliar.

"Setelah melakukan pemeriksaan 1x24 jam pasca penangkapan, KPK melakukan gelar perkara antara pimpinan dan seluruh penyidik, dan memutuskan meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan sejalan dengan penetapan dua orang sebagai tersangka.

Sebagai pemberi, RRN disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi .

Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Sebagai penerima, HS disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016