Meureudu (ANTARA News) - Siang itu, aktivitas di kompleks pemakaman tokoh yang dihormati warga setempat, Abdullah Syafii, tidak terlalu terlihat. Sesekali hanya ada para ibu-ibu yang bolak-balik ke tempat itu untuk sekadar mengambil jatah logistik yang ada.

Sedangkan malamnya para ibu-ibu bersama anaknya akan kembali ke "tenda biru". Kebanyakan dari suaminya berjaga-jaga jika terjadi guncangan gempa susulan kembali.

Anak-anak dengan keceriaannya berlalu lalang, berlari-lari bersama rekan-rekannya melewati satu tenda ke tenda lainnya taka da takut kakinya tersangkut tali penambat tenda itu.

Keceriaan tergambar di wajah mereka. Setiap orang yang baru dilihatnya, tidak sungkan-sungkan untuk menyapa meski entah si orang itu mengerti bahasanya.

Wajah polos berbanding terbalik 100 derajat dengan bapak atau emaknya yang masih trauma. Trauma itu tergambar secara melekat dari guratan wajahnya terlebih lagi bila terjadi guncangan sedikit.

Trauma akan gempa 6,5 Skala Richter (SR) yang telah meluluhlantakan tempat tinggalnya, masih membekas. Mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk melupakannya.

Mereka berada di Gampong Cubo, Panteraja, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Makam itu makam Panglima GAM Abdullah Syafii yang begitu mereka hormati. Dengan memanfaatkan tanah lapang di tengah-tengah antara WC dan pendopo atau tepatnya di samping kanan dari mushala yang ada.

Tercatat sebanyak tiga orang warganya meninggal dunia tertimpa bangunan yang roboh, serta 18 mengalami luka berat. Sebanyak 386 orang yang berasal dari tiga dusun di gampong itu mengungsi di areal pemakaman itu.

Terpal plastik berwarna biru itu telah berdiri rendah untuk menahan angin malam dari arah bukit. Dengan beralaskan tikar pandan mereka mencoba menaruh mimpi agar bayangan gempa itu hilang.

"Kita menggunakan areal ini karena daerah datar cukup terbatas," kata warga Zulfan Ariadi.

Secara kontur geografis jika dari bawah atau Jalan Raya Medan-Banda Aceh, memang posisinya meninggi ke arah pebukitan. Gampong itu terhitung paling ujung, jarak dari ibukota kabupaten sendiri, Meureudu sekitar 20 kilometer atau menempuh waktu menggunakan roda dua sekitar dua jam.

Lamanya perjalanan menuju lokasi tidak terlepas jalannya yang bervariasi dari asal, tanah, berbatu sembari debu-debu akan beterbangan saat mobil melewatinya. Jika menggunakan roda dua atau motor maka harus bersiap-siap menutup mulut dan hidung.

"Memang gampong kami ini letaknya cukup jauh," kata pemuda yang saat ini mencari kehidupannya di Banda Aceh.

Sebenarnya lokasi pengungsian itu di bagi dua, mengingat jika ditampung di areal pemakaman semuanya maka tidak akan mencukupi.

Satu-satunya jalan dengan membagi lokasi. "Untuk di areal pemakaman ada sekitar 150 orang warga," katanya.

Sebenarnya pendirian posko pengungsian di tempat itu, terhitung relatif aman mengingat komplekas pemakamannya dikelilingi oleh pagar tembok sekitar dua meter. Setidaknya mampu menahan laju angin yang mengarah ke tenda pengungsian.

Namun persoalan baru saat ini, yakni, kurangnya kepedulian pemerintah setempat terhadap daerah tersebut.

"Sejak gempa terjadi pada Rabu (7/12), baru satu kali ada bantuan dari pemerintah. Itupun terbatas," katanya.

"Warga bukan tidak mau berterima kasih bantuan dari pemerintah, persoalannya sederhana adanya kedatangan pejabat setempat untuk melihat dari dekat bagaimana kondisi warga saat ini. Padahal rumah bupati saja, sangat dekat dengan kami. Tapi sampai sekarang belum juga melihat gampong kami," katanya.

"Saat ini bantuan lebih banyak berasal dari lembaga atau organisasi/komunitas yang berasal dari luar Kabupaten Pidie Jaya," katanya.

Warga pun masih terus berharap akan perhatian dari pemerintah setempat. "Jangan sampai karena tempat tinggal kami ini dahulunya dianggap sebagai sarang GAM, maka kami pun dilupakan," katanya lirih.

Hal senada dikeluhkan oleh warga setempat, Muhtar yang menyebutkan bantuan saat ini lebih banyak berasal dari lembaga luar dari Pidie Jaya bahkan ada berasal dari Jakarta dan Medan.

Kepala Humas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pidie Jaya Ridwan di Meureudu Sabtu mengatakan para korban gempa tersebut tersebar di delapan kecamataan yakni Pante Raja, Bandar Dua, Bandar Baru, Jangka Buya, Tringgadeng, Meureudu, Bandar Baru dan Alee Glee.

Daerah terparah diguncang gempa pada Rabu (7/12) adalah Kecamatan Pante Raja, Bandar Dua, Tringgadeng, Meureudu, Bandar Baru dan Alee Glee.

"Jumlah korban meninggal saat itu yang sudah terindentifikasi 92 orang dan yang belum teridentifikasi ada delapan orang," kata Ridwan.

Saat ini, tim evakuasi dari Basarnas, BNPB, TNI, Polri, dan unsur masyarawat masih mencari korban yang diduga masih tertimbun rereruntuhan bagunan ambruk guncangan gempa.

Tim medis yang terdiri dari unsur dokter dan unsur TNI memeriksa sejumlah korban gempa yang masih berdatangan ke posko kesehatan yakni, halaman Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pidie Jaya dan halamana Kantor Bupati setempat.

Oleh Riza Fahriza
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016