Jakarta (ANTARA News) - Internasionalisasi isu Papua bukanlah isapan jempol. Sebaliknya upaya sejumlah pihak yang ingin memisahkan wilayah paling timur Indonesia dari NKRI itu adalah realitas yang tak terbantahkan.

Mereka mengangkat dan menggoreng isu Papua dari perspektif mereka itu dengan memanfaatkan berbagai forum regional dan internasional, serta beragam kanal pemberitaan media cetak dan elektronika arus utama maupun media daring atau "online" dan media sosial.

Tak sulit menemukan laman organisasi maupun situs jejaring sosial dan media sosial para pendukung kemerdekaan Papua saat ini.

Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi itu, mereka menggerakkan mesin propagandanya melalui penyajian informasi teks, foto dan video berbahasa Inggris, Indonesia, Belanda, maupun bahasa lain yang kontennya dikemas sesuai dengan "agenda setting" dan "media framing" mereka.

Melalui laman, situs jejaring sosial dan media sosial seperti https://www.ipwp.org/, https://twitter.com/freewestpapua, https://www.freewestpapua.org/, https://westpapuamedia.info/, http://freewestpapua.eu/, dan https://www.facebook.com/freewestpapua/ ini, kelompok-kelompok prokemerdekaan Papua mengampanyekan tuntutan referendum dan tudingan pelanggaran HAM, termasuk genosida di Papua, kepada Indonesia.

Tudingan "genosida" ini tidak hanya disuarakan melalui media sosial tetapi juga situs berita semacam http://www.stuff.co.nz, Selandia Baru.

Dalam salah satu pemberitaannya, situs berita ini mempublikasi tulisan Pala Molisa berjudul "Theres genocide in our neighbourhood" pada 15 Agustus 2016 atau sekitar sebulan sebelum penyelenggaraan Sidang Umum PBB di New York.

Masih segar dalam ingatan publik di Tanah Air bagaimana delegasi Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu, dan Tonga, menyerang Indonesia dalam Sidang Umum PBB pada September lalu itu mengangkat isu pelanggaran HAM di Papua -- berikut dengan tudingan genosida -- dan mendesak digelarnya referendum di wilayah NKRI itu.

Adalah Nara Masista Rakhmatia, diplomat muda Indonesia di PBB, yang dengan cerdas, cermat dan tegas membantah semua tuduhan tak berdasar delegasi dari sejumlah negara Pasifik Selatan tersebut.

Apa yang terjadi di ruang Sidang Majelis Umum PBB pada September 2016 itu hanyalah salah satu dari sekian banyak upaya terorganisasi pihak-pihak yang ingin memisahkan Papua dari NKRI.

Di luar forum PBB, kampanye pro-kemerdekaan Papua yang tak jarang mendapat dukungan sejumlah media internasional itu pun digelar kalangan kampus tertentu.

Dalam konferensi perayaan 20 tahun Jurnal Pacific Journalism Review yang berlangsung di kampus Universitas Teknologi Auckland (AUT), Selandia Baru pada 27-29 November 2014, misalnya, Direktur Pacific Media Center Universitas AUT yang juga Redaktur PJR, Prof David Robie, bahkan mengundang aktivis prokemerdekaan Papua, seperti Nick Chesterfield dan Maire Leadbeater, sebagai pembicara utama.

Suratkabar setempat, The New Zealand Herald, mendukung konferensi yang dihadiri akademisi dari Selandia Baru, Australia, dan sejumlah negara di Pasifik Selatan itu dengan menerbitkan artikel Maire Leadbeater di hari pembukaan konferensi (27 November 2014).

Artikel yang ditulis anggota West Papua Action Auckland di halaman A 36 dengan judul "West Papuans Long Fight for Freedom" (Perjuangan Panjang Orang-Orang Papua Barat untuk Merdeka) ini mengupas kilas balik sejarah Papua Barat.

Pada intinya perempuan penulis Selandia Baru kelahiran 19 Oktober 1945 ini menyuarakan kepentingan kelompok prokemerdekaan Papua untuk mendapatkan hak menentukan nasib sendiri dengan antara lain membandingkan antara Waitangi Day di Selandia Baru dengan apa yang disebutnya perjuangan panjang rakyat Papua Barat dan bagaimana posisi Pemerintah Selandia Baru pada saat Pepera maupun setelahnya.

Setali tiga uang dengan Maire, Nick Chesterfield yang saat ini tercatat sebagai koordinator Proyek Five ARM Adelaide, Australia, ini pun memiliki pandangan yang miring tentang Indonesia.

Di panggung akademik AUT itu, dia leluasa menuding bahwa Indonesia terus melakukan pelanggaran HAM, intimidasi terhadap wartawan lokal dan narasumber-narasumber prokemerdekaan atau yang berseberangan dengan Indonesia, tidak menghargai kebebasan pers, dan menghambat kerja-kerja jurnalistik wartawan Indonesia dan terlebih lagi jurnalis asing untuk meliput secara bebas sesuai dengan paham jurnalisme barat yang mendewakan "bad news is good news" itu.

Ujung-ujungnya, seperti halnya Maire, Nick pun menyuarakan dukungan pada "self determination" bagi rakyat papua. Nick lebih lanjut berpandangan bahwa narasi, diskursus maupun framing (pembingkaian berita) tentang Papua tetap tidak berubah sekali pun pemerintahan Indonesia telah berganti.

Menurut dia, tidak akan ada perubahan untuk Papua karena wartawan asing tetap tak diizinkan meliput secara leluasa guna menghasilkan apa yang disebutnya "independent reporting".

Lalu dia menyebut kondisi Papua sebagai "long running war" (perang yang panjang).

Dalam menyiasati kondisi ini, Nick kemudian melancarkan misi reportase secara klandestin dengan merangkul sejumlah stringer (pengumpul berita) di lapangan.

Salah satu stasiun televisi yang pernah bekerja sama dengan menerima produk berita klandestinenya itu adalah Al Jazeera. Nick juga menyinggung tentang kekuatan media sosial dan jurnalisme warga (citizen journalism) berkat kehadiran beragam telepon selular canggih yang dilengkapi kamera untuk mendukung "independent reporting".

Para jurnalisme warga ini, kata Nick, perlu diberi pelatihan keterampilan jurnalistik. Pilihan dia pada kekuatan media sosial dan jurnalisme warga ini sangat dapat dipahami karena, menurut hasil riset tentang sosial media global yang dilakukan Dave Chaffey (2016), jumlah pengguna internet di dunia pada Januari 2016 mencapai 3,419 miliar orang, sedangkan pengguna aktif media sosial mencapai 2,307 miliar orang.

Dari 7,395 miliar jiwa penduduk dunia saat ini, jumlah pemakai telepon selular tercatat sebanyak 3,790 miliar orang dan 1,968 miliar orang di antaranya tercatat sebagai pengguna media sosial dari perangkat seluler.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut data yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna Internet pada 2014 mencapai 88,1 juta orang atau meningkat dari 71,2 juta orang pada tahun sebelumnya.

Selain itu, jumlah pengguna Internet dari perangkat seluler juga meningkat menjadi 85 persen pada 2014 dari 65 persen pada 2013.

Melihat tantangan yang tidak mudah dalam upaya merawat kedaulatan RI di Papua ini, langkah strategis dan taktis apa yang dapat dan selayaknya dilakukan Pemerintah bersama seluruh elemen bangsa yang mencintai NKRI?

Apa pun langkah strategis dan taktis yang hendak diambil untuk merespons ancaman nyata berupa internasionalisasi isu Papua tersebut, Pemerintah jangan pernah surut langkah untuk menghadirkan kemajuan dan kesejahteraan yang berkeadilan dan nyata ke tengah masyarakat Papua.

Karenanya, percepatan pembangunan yang memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh kelompok masyarakat di Papua adalah pekerjaan rumah yang harus sesegera mungkin tuntas.

Semua upaya itu sepatutnya dilakukan secara terencana dan berkesinambungan sebagaimana diharapkan rakyat dan tokoh Papua yang dihormati, Nicolaas Jouwe.

"Prioritas utama mengapa saya kembali dan menetap di Indonesia adalah untuk membantu pembangunan Papua. Sebelumnya, saya tinggal di Belanda selama hampir setengah abad karena adanya perbedaan-perbedaan pendapat dengan Pemerintah Indonesia terkait Papua," ucapnya dalam buku berjudul "Nicolaas Jouwe: Back to Indonesia Step, Thought and Desire" (2014).

Oleh Rahmad Nasution
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016