...membuat saya merasa penting untuk memunculkan tokoh ini di kalangan anak-anak muda yang mungkin lebih memuja senja, memuja gerimis, lebih memuja jomblo, lebih menyakiti dirinya dengan hal-hal yang tidak esensial...
Jakarta (ANTARA News) - "Istirahatlah Kata-kata", sebuah film yang mengisahkan tentang sepenggal kehidupan penyair Wiji Thukul saat harus bersembunyi dari kejaran aparat negara Orde Baru.

Diambil dari puisi Wiji Thukul, judul film tersebut dipilih sang sutradara Yosep Anggi Noen karena dianggap kontekstual dengan apa yang terjadi dalam keterbukaan demokrasi hari ini. 

Dia melihat banyak sekali orang yang mengumbar ujaran seolah yang disebut demokrasi itu adalah sebuah kebebasan absolut.

"Kebebasan dilihat sebagai kebebasan saja, tidak melihat bahwa dibalik kebebasan itu ada peran yang diharapkan, ada tanggung jawab untuk menjadikan masyarakat yang lebih bermartabat," ujar dia kepada ANTARA News, di Jakarta, Minggu (8/1).

"Kadang-kadang kita butuh istirahat untuk berdiam sejenak, berpikir. Istirahat itu layer-nya banyak kan? istirahat itu bukan berarti berhenti, istirahat itu mengisi kekuatan," kata Anggi.

Dalam pembuatan "Istirahatlah Kata-kata", Anggi mengaku berkiblat pada puisi-puisi karya Wiji Thukul. Puisi-puisi tersebut seperti catatan harian yang mengungkapkan keseharian Wiji Thukul mulai dari kecil, bagaimana kemudian aktivis tersebut bekerja ini itu, berorganisasi, dan bagaimana dia melihat ketertindasan dan ruang.

Anggi juga bertemu dengan kawan-kawan Wiji Thukul yang memiliki memori berserakan atas Wiji Thukul itu sendiri.

Untuk mengetahui apa yang terjadi pada waktu itu, Anggi banyak membaca literatur perpustakaan Ohio State University dan KITLV.

"Beberapa literatur itu muncul seperti misalnya tulisan tangan disimpan oleh KITLV, kemudian mailing list pergerakan anak-anak muda Indonesia untuk berdemokrasi, namanya Apa Kabar Indonesia tahun 90-an, semua percakapan di mailing list itu disimpan baik oleh Ohio State University," ujar Anggi.

"Jadi saya bisa membaca apa yang diperbincangkan oleh penggerak demokrasi, bahkan bukan penggerak demokrasi pun ada di situ, kronologi demonstrasi yang memprotes kebijakan Suharto pada zaman itu," sambung dia.

Anggi bertemu langsung dengan orang-orang yang dulu pernah membantu menyembunyikan Wiji Thukul di Pontianak. Istirahatlah Kata-kata mengisahkan saat-saat  Wiji Thukul melarikan diri ke Pontianak selama delapan bulan setelah kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta, 

Anggi juga mencoba merekonstruksi Pontianak di tahun itu dengan cara melihat koran-koran lawas. Bukan beritanya yang dia lihat, tapi iklan-iklannya. Dia mencari tahu misalnya iklan perumahan, bahkan film apa yang sedang diputar di bioskop kala itu.

"Jadi, mozaik-mozaik kecil itu dikumpulkan, kemudian "balungannya" ada di puisi-puisinya dan cerpen-cerpen Wiji Thukul," kata Anggi.


Poster film "Istirahatlah Kata-kata".

Gagasan untuk membuat film Wiji Thukul muncul itu memperkenalkan seniman itu kepada para generasi muda.

Anggi mengaku tidak begitu familiar dengan sosok Wiji Thukul. 

"Saya tahu Wiji Thukul sejak SMP tahun 1990-an, waktu itu ada tetangga bawa puisi dikasih ke saya, saya yang berasal dari keluarga guru Bahasa Indonesia ketika melihat puisi itu merasa bukan puisi, seperti catatan harian," ujar Anggi.

"Waktu itu saya jelas lebih suka membaca puisi-puisinya Taufik Ismail, Chairil Anwar, Rendra atau puisi-puisi yang lain, tapi perlahan-lahan saya justru merasa bahwa puisi ini justru paling kontekstual untuk merekam zaman," lanjut dia.

Puisi karya Wiji Thukul, menurut Anggi, menyingkap hal-hal yang tidak spektakuler, tidak seperti hal-hal yang diagung-agungkan puisi lain, tapi hal-hal yang berbicara tentang manusia.

"Itu yang ternyata membuat saya merasa penting untuk memunculkan tokoh ini di kalangan anak-anak muda yang mungkin lebih memuja senja, memuja gerimis, lebih memuja jomblo, lebih menyakiti dirinya dengan hal-hal yang tidak esensial ke cara kita melihat kepada seorang tokoh yang memang sangat-sangat kuat menyerap situasi dan kondisi sosial saat itu," kata dia.

"Dan, anak-anak muda juga harus tahu serapan dari kondisi sosial saat itu muncul dalam rupa puisi, muncul dalam perlawanan, dan yang membuat anak-anak muda ini hari ini bisa dengan mudahnya memuja senja itu adalah demokrasi," sambung dia.

Wiji Thukul sendiri di mata Anggi adalah sosok yang menarik, tokoh yang sangat riang dan lucu, sangat agitatif dan sangat cerdas.

Menurut Anggi, Wiji banyak membaca dan haus ilmu selain "dia juga kesepian".

Ruang sepi itulah kemudian dibangun Anggi, bahwa terkadang dalam kesendirian kompleksitas sifat manusia muncul, terlebih saat itu Wiji Thukul berstatus sebagai buronan.

Untuk menghadirkan sosok Wiji Thukul, Anggi menggabungkan gagasan Wiji dari orang-orang terdekat Wiji, termasuk anak-anaknya. Dia mengamati keseharian dua anak Wiji, Fajar yang dia kenal tengil dan Wani yang dia kenal sangat cerdas dan sangat percaya pada kata-kata.

Namun, dia memberi keleluasaan pada aktornya untuk menafsir dan mendiskusikan ulang gagasan diri dan cerita jiwa Wiji.

"Gunawan Maryanto itu seorang penyair juga, jadi dia paham anatomi kata-kata itu, dia paham anatomi puisi, dia paham bagaimana kata-kata itu muncul sebagai sebuah ekstrak dari keseharian, maka saya pilih dia, di samping karena wajahnya hampir mirip," kata Anggi

"Tapi yang lebih penting adalah bahwa dia sebenarnya mampu juga membantu saya untuk mengenali semesta kata-kata dan semesta puisi, bagaimana puisi itu muncul dan hidup," lanjut dia.

Sementara itu, sosok istri Wiji Thukul diperankan oleh Marrisa Anita.

"Marissa Anita itu juga aktor panggung, meskipun lebih terkenal sebagai news anchor, tapi saya kira Marissa Anita itu mampu menghadirkan Sipon dalam diam," ujar Anggi.

"Marissa Anita di film ini dialognya sedikit banget, tapi berbahasa Jawa semua dan saya membutuhkan orang yang mampu mengartikulasikan bahasa Jawa dengan sempurna, dan Marissa sangat mampu melakukannya," tambah dia.

Film "Istirahatlah Kata-kata" akan diputar serentak di delapan kota mulai 19 Januari 2017.

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017