Hidup di negeri orang dengan keterasingan dan "buta" bahasa serta aksaranya terasa menyiksa bagi Ajiek Koeshajati, seorang perempuan asal Singosari, Malang, yang hijrah ke Jepang setelah menikah.

"Meskipun saya pernah sedikit-dikit belajar bahasa Jepang secara informal di Jakarta, tetapi berhubung belajarnya nggak konsen dan tidak kenal kondisi di Jepang, pelajaran sama sekali nggak masuk di otak," kata Ajiek.

Begitulah, tanpa memiliki pengetahuan bahasa dan adat istiadatnya, Ajiek yang baru menyelesaikan kuliah tahun terakhir di Fakultas Sosial di Universitas Indonesia, menikah dengan seorang expatriat Jepang pada 1973 dan mengikutinya pindah ke Tokyo, setelah dikaruniai dua orang putri pada awal 1980-an.

Dengan anak-anak yang masih kecil dan tidak mengenal kehidupan di sekitarnya, Ajiek mengaku bahwa hidupnya mulai kurang membahagiakan. Suasana membaik ketika dia berkenalan dengan para tetangga, khususnya ibu-ibu dari teman sekolah anaknya.

"Setiap hari sekitar 5-6 ibu bersedia berkumpul mengajari saya menerjemah materi pelajaran anak-anak karena mereka iba pada saya yang tidak paham bahasa Jepang," kata Ajiek mengenang masa-masa sulit tersebut.

Dari pergaulan dengan tetangga itu dia mengenal tata-krama dan adat istiadat Jepang serta saling bertukar budaya.

"Jika ada anak atau ibu yang ulang tahun saya mengundang mereka ke rumah dan membuat selamatan kecil untuk mereka. Ini keramah-tamahan Indonesia yang saya berikan kepada mereka," kata Ajiek mengungkap rahasia caranya mendekati orang Jepang yang secara umum bersifat tertutup terhadap orang lain.

Para tetangga rupanya senang pada hal-hal baru yang ditularkan Ajiek dan sebaliknya, sampai dia pun semakin mahir berbahasa Jepang, termasuk memakai bahasa tingkat tinggi atau keigo (semacam kromo inggil di Jawa).

Bertepatan dengan itu, situasi ekonomi di Jepang meningkat dengan istilah yang terkenal "bubble economic" dan bangsa Jepang juga mulai berminat membuka wawasan dari negara-negara lain yang dikenal dengan istilah "kokusaiteki na Nihon" dan membuka sekolah bahasa-bahasa asing. Belajar bahasa Inggris dan berwisata ke Eropa serta Amerika menjadi sangat populer dan kemudian merembet ke Asia, termasuk Indonesia.

Ajiek tidak menyia-nyiakan kesempatan dan dia mulai mencari pekerjaan untuk mengajar bahasa Indonesia, karena sekolah bahasa asing mulai menjamur di Jepang.

Pada saat itu pemerintah Jepang dan perusahaan-perusahaan raksasa membuka proyek di Indonesia melalui bantuan luar negeri ODA (Overseas Development Assistant) dengan bunga rendah. Proyek tersebut kebanyakan berupa program pembangunan pabrik dan infrastruktur dan banyak perusahaan harus mengirim tenaga ahli untuk bekerja di Indonesia. Sebelum berangkat, para karyawan yang akan menjadi manager di Indonesia dibekali pengetahuan bahasa Indonesia dan pengenalan adat-istiadat, agama serta budaya setempat. Peran guru bahasa Indonesia sangat diperlukan.

Ajiek pun menikmati peran sebagai perempuan Indonesia, dia mendapat kesempatan mengajar di perusahaan surat kabar ekonomi Nikkei Shimbun, Badan Perdagangan Luar Negeri Jepang (Japan External Trade Organization-JETRO), perusahaan penerbangan JAL, termasuk juga menjadi narasumber dalam berbagai seminar tentang Indonesia.

Kiprahnya mulai terlihat sampai dia direkruit oleh seorang ekonom Indonesianis, Prof. Yoshinori Murai untuk mengajar di sebuah perguruan tinggi swasta Katolik bergengsi, Sophia University di Tokyo, tempatnya mengabdi hingga kini.

"Saya merasa beruntung diajak bergabung di Sophia, meskipun latar belakang pendidikan saya bukan sastra Indonesia atau pun sastra Jepang seperti kebanyakan guru yang lain, melainkan karena melihat pengalaman saya mengajar bahasa Indonesia," ujar perempuan yang populer diundang sebagai Ajiek sensei ini.

Popularitas Bali
Pelajaran bahasa Indonesia semakin diminati pada awal 1990-an karena berwisata ke Bali menjadi kegiatan yang populer, khususnya di kalangan anak muda Jepang, sehingga kursus bahasa Indonesia juga semakin banyak dibuka.

Dalam mengajar Ajiek bukan sekadar mengenalkan bahasa melainkan juga mengenalkan budaya Indonesia, bahkan kegemarannya adalah mengundang mahasiswa dan murid-muridnya untuk datang ke rumah dan menikmati sajian masakan Indonesia yang diolahnya sendiri. Pada saat itu mereka bisa mendengar musik dan lagu-lagu, menyanyi, menari, membaca majalah dan menonton video semua tentang Indonesia.

Sesekali ia mengajak mereka berwisata bersama ke Indonesia.

Keberuntungan di bidang pekerjaan bertolak belakang dengan kehidupan rumah tangganya yang membuat ia memutuskan menggugat-cerai suami, karena semakin banyak ketidak-cocokan antara dirinya dengan ayah dari kedua putrinya itu.

Proses perceraian cukup alot dan Ajiek hanya memperjuangkan hak asuh bagi kedua putrinya tanpa menghiraukan urusan gono-gini.

"Bagi saya anak-anak lebih penting. Dulu saya ingin mereka bersekolah tinggi ke Eropa dan Amerika, tapi birokrasi harus meminta izin dari ayahnya membuat anak-anak batal sekolah keluar Jepang," kata Ajiek yang kini merasa puas dengan capaian putri-putrinya yang menjadi model dan bekerja di bidang multimedia.

Mereka sudah memberi tiga cucu baginya dan Ajiek pun pada 1996 menikah kembali dengan seorang warga Amerika Serikat yang berusia 12 tahun di bawahnya.

"Kami hidup bahagia dan tenang," kata perempuan yang tetap energik di usia 60-an itu.

Saat ini Ajiek masih mengajar di dua universitas, yaitu Sophia dan satu perguruan tinggi putri, sekolah bahasa dan budaya yang dikelola oleh lembaga penyiaraan NHK dan ada beberapa murid privat.

"Ada bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah belajar sejak 1994 dan juga 2002 seperti menjadi murid abadi dan rajin belajar walaupun ada yang bahkan sama sekali belum pernah berkunjung ke Indonesia," kata Ajiek.

"Aneh kan?" Ada kebanggaan dalam kata-katanya.

Kebahagiaan Ajiek sebagai guru adalah ketika murid-muridnya berhasil dan mengembangkan minatnya seperti menjadi penari Bali, memperdalam gamelan dan amat sering berkunjung ke Indonesia, sehingga menambah keuntungan bagi sektor pariwisata.

Relasinya baik dengan bekas murid terus terjalin, dan mereka tetap menghubunginya, sesekali.

"Kini saya pindah ke rumah yang lebih kecil sehingga tidak bisa mengundang murid untuk makan-makan di rumah, tetapi kami tetap makan bareng pada saat-saat tertentu di rumah makan Indoonesia yang ada di Tokyo," katanya.

"Beberapa dari mereka melakukan riset dan menjadi pakar tentang Indonesia," Kata Ajiek mengenai murid-muridnya.

Saat ini, menurutnya, sudah banyak orang muda Jepang yang pandai berbahasa Indonesia dan juga mahasiswa Indonesia di Jepang jumlahnya banyak, mereka ikut "meramaikan" kancah pelajaran bahasa Indonesia bagi orang Jepang.

" Tiga tahun lagi saya akan pensiun dan akan menyusun buku pelajaran bahasa Indonesia bagi orang Jepang, namun sebelumnya saya ingin mengajak mahasiswa berkunjung ke Indonesia dalam kerja sama dengan UGM yang sudah dirangkul menjadi sister university," kata Ajiek mengakhiri obrolannya.

Oleh Maria D. Andriana
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017