Daun kopi muda itu menghitam karena sudah melalui proses penjemuran dan pengasapan. Siap diseduh dan diseruput untuk menikmati rasa khasnya. Penduduk lokal menyebutnya kopi kawo atau seduhan daun kopi.

Dibalik kopi kawo tersebut terselip kisah nelangsa petani kopi di Kabupaten Kerinci pada zaman penjajahan Belanda, dimana petani tidak bisa menikmati tanaman kopinya sendiri karena semua hasil panen diambil penjajah dan menjualnya ke Eropa dan negara lainnya.

Petani lokal tidak kehilangan akal. Daun kopi muda dan harus dipetik dan dibuang agar buah kopi cepat membulir, kuning lalu memerah untuk kemudian siap dipetik. Daun kopi muda yang terbuang itu lalu dipungut, dirajang, dijemur lalu diasap, kemudian diseduh seperti daun teh.

Ketika Belanda menikmati kopi Kerinci yang ditanam di ketinggian 1.000-2.000 meter di atas permukaan laut (dpl), petani lokal yang menanam, merawat dan memetiknya hanya bisa menikmati daun muda yang awalnya terbuang sia-sia.

Belanda masuk ke Kerinci sekitar tahun 1901 yang bertujuan mengejar emas karena Sumatera dikenal juga sebagai Pulau Emas atau Suwarnadwipa. Ternyata tidak hanya emas kuning, Belanda juga mengejar emas hitam atau yang dikenal dengan rempah-rempah, termasuk teh dan kopi. Kopi Kerinci merupakan salah satu yang terbaik karena didukung oleh tanah yang subur di daerah vulkanik dan kontur tanah pegunungan di Kerinci dan jajaran Bukit Barisan.

Kopi robusta dan arabica tumbuh baik di daerah ini, yakni di ketinggian 1.000-1.500 meter dpl dan di ketinggian 1500-2000 dpl. Terdapat perbedaan yang mencolok antara robusta dan arabica. Bagi penikmat kopi akan terasa perbedaan nyata ketika keduanya disesap di pangkal geraham di waktu yang berbeda. Tentu saja setelah dinetral dengan air putih.

Pertama, seruput air kopi robusta lalu taruh di pangkal geraham sejenak, lalu telan. Kemudian, minum air putih, sebelum ditelan kumur-kumur untuk membersihkan sisa robusta di rongga. Kemudian seruput air kopi arabica dan kembali taruh di pangkal geraham. Akan terasa perbedaan jelas antara robusta dan arabica. Yang terakhir akan terasa lebih asam, bernuansa manis dan rasa pahit yang lebih ringan.

Tanjung Tanah
Budi daya kopi di Kerinci sudah dilakukan jauh sebelum Belanda datang ke "syurga kecil" di dataran tinggi Sumatera itu. Hal itu terungkap dalam naskah tertua atau Naskah Kuno Tanjung Tanah yang dikeluarkan Kerajaan Melayu pada abad ke-14 yang ditemukan di Mendapo Seleman, sekitar 15 kilometer dari Sungai Penuh, Kerinci.

Dalam naskah itu disebutkan bahwa Kerinci sudah menjadi pusat pertanian dan perkebunan karena kesuburan tanahnya. Komoditas yang menjadi andalan adalah teh, sayur mayur, kayu manis dan kopi.

Masuknya Belanda ditentang oleh penduduk setempat yabg dipimpin oleh Depati Parbo. Pada 1904 Kerinci takhluk dan Depati Parbo dibuang ke Ternate. Kepahlawanannya diabadikan dalam bentuk jalan dan bandar udara di Sungai Penuh.

Meski hanya dijajah sekitar 40 tahun, tetapi dampaknya sangat besar bagi petani. Belanda mengambil semua hasil panen kopi dan menyisakan daun kopi muda untuk petani.

Keterpaksaan menyeduh daun kopi muda atau kawo tersebut kini menjadikan kebiasaan bagi petani dan kini kebiasaan tersebut tak bisa lepas, kata pemerhati lingkungan dan manajer cafe, Musnardi Munir. Petani sebelum ke ladang kopi menyeduh kawo, siang saat makan di ladang dan sore setelah dari ladang. Bahkan, saat sosialisasi kumpul-kumpul dengan tetangga dan kerabat di beranda rumah juga menyeduh kawo.

Rasa kawo memang sangat khas, warna air seduhan cokelat, lebih pekat dari teh dan rasa kopi agak ringan dan ada rasa sepet. Umumnya petani minum seduhan air kawo murni tanpa pemanis, tetapi ada juga yang meminumnya dengan gula nira. Petani meminumnya dari batok kelapa sebagai pengganti gelas, sementara wadah penyimpan air seduhan berupa bambu dengan penutup dari kumparan dedaunan.

Tradisi lama

Tradisi minum air kawo tak hanya di Kerinci, tetapi juga di daerah kopi di Sumatera Barat, juga di Kota Bumi, Lampung dan daerah lainnya. Mereka menyebutnya Kawa. Ada yang mengaitkannya dengan qahwa (kopi) dalam bahasa Arab.

Di Payakumbuh, Sumatera Barat, air kawa (kawo) sudah menjadi ladang bisnis tersendiri. Pengusaha kafe dan restoran berinovasi meramunya dengan campuran lain, seperti kayu manis, susu, lemon, jeruk dan lainnya juga telur seperti halnya teh telur atau teh talua yang populer di resto atau rumah makan Minang.

Generasi muda juga sudah menyukai hidangan minuman ini sehingga menjadi sumber pendapatan baru bagi para pebisnis kuliner. Kafe dan resto yang menawarkan air daun kawa pun menjamur, bahkan pada festival budaya Minang baru-baru ini di jakarta.

Berbeda di Sungai Penuh, minum air kawo belum menjamur dan belum dijadikan peluang bisnis. Masih sangat sedikit kafe atau kedai kopi yang menyajikan kawo. Salah satu yang memberanikan diri adalah Blue Korintji Coffee Cafe. Mereka tidak menyajikan kawo sebagai menu komersial, tetapi sebagai minuman cuma-cuma untuk menemani sajian utama, yakni beragam minuman kopi dan jus lainnya.

Mengapa tidak dikomersialkan seperti di Payakumbuh? Tidak ada jawaban yang pasti, namun pengelola menghormati minuman yang muncul karena pahitnya jadi anak jajahan itu sehingga selalu menyediakan daun kawo jika ada pelanggan yang ingin menikmatinya. Mereka juga tidak menyajikan dalam batok kelapa sebagai gelas tradisional, tetapi dalam cangkir kopi.

Pada secangkir air kawo, nelangsa anak bangsa seperti berputar ulang ke masa penjajah. Pada secangkir kawo pula terdapat nikmatnya ragam kuliner nusantara. 

Oleh Erafzon SAS
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017