Semuanya bisa dirundingkan, termasuk kebijakan satu China."
Washington (ANTARA News) - Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam wawancara dengan surat kabar Wall Street Journal (WSJ) mengemukakan mempertahankan sanksi untuk Rusia "untuk sementara waktu", namun akan mencabutnya jika Moskow berguna bagi Washington.

"Jika anda berhubungan baik dan jika Rusia membantu kita, lalu kenapa kita harus menerapkan sanksi kepada pihak yang berguna bagi kita?" ujar Trump dalam wawancara yang dipublikasikan WSJ edisi Jumat (13/1).

Trump mengindikasikan akan mencabut sejumlah sanksi, yang dijatuhkan oleh pemerintahan Presiden Barack Obama pada Desember 2016 terkait skandal peretasan pusat data pemilihan umum AS, jika pihak Moskow berperan besar dalam memerangi terorisme dan tujuan lain yang sesuai dengan kepentingan Washington, demikian laporan WSJ.

Selain itu, Trump mengaku siap bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin setelah resmi diangkat menjadi Presiden AS pada 20 Januari 2017.

"Saya mengerti jika mereka ingin bertemu dengan saya," katanya.

Trump juga mengungkapkan visinya mengenai Beijing, terutama terkait kebijakan "satu China" yang menjadi landasan sikap AS dengan Taiwan selama beberapa dasawarsa terakhir ini.

"Semuanya bisa dirundingkan, termasuk kebijakan satu China," kata dia.

Sebelumnya, Trump memicu amarah Republik Rakyat China (RRC) setelah menerima telepon dan ucapan selamat dari pemimpin Taiwan. Dia juga sempat mempertanyakan kebijakan "satu China" yang selama ini diterapkan AS.

AS selama ini menerima sikap RRC, dan mengakui Taiwan adalah bagian dari negara China daratan.

Pada masa kampanye menjelang pemilu presiden, Trump juga pernah menyebut China sebagai menipulator mata uang untuk memperkuat ekspor. Dalam wawancara dengan WSJ, dia mengatakan bahwa dirinya tidak akan segera memutuskan kebijakan.

"Saya akan berbicara dengan mereka terlebih dahulu. Jelas mereka adalah manipulator mata uang. Tapi, saya tidak akan melakukan hal itu (menjatuhkan sanksi)," katanya.

Trump menimpali, "Mereka menurunkan mata uang mereka secara sengaja. Akibatnya, perusahaan kami tidak bisa berkompetisi dengan sehat karena mata uang AS terlalu kuat. Ini membunuh kami."

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017