Hidup di atas air rawa, dari generasi ke generasi, beradaptasi dengan alam yang kemudian menciptakan adat dan kebudayaan yang menyatu dalam Ekosistem Rawa Gambut (ERG) Nagara.

Sebuah ekosistem yang menjadi penjamin kelangsungan hidup bagi puluhan ribu warga yang menetap di tiga kecamatan dalam areal Distrik Nagara di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.

Mereka adalah orang-orang Nagara dari Suku Banjar yang mendiami Kecamatan Daha Utara, Daha Barat dan Daha Selatan, dan hidup begitu menyatu dengan rawa gambut pasang surut di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan menjadi petani dan nelayan atau mencari ikan (maiwak), mengikuti musim yang menghampiri ekosistem ini.

Pada minggu kedua di bulan pertama 2017, musim hujan sedang berlangsung di distrik yang di masa lampau menurut Hikayat Banjar dan Kotawatingin merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Nagara Daha ini.

Mereka menyebutnya sebagai musim dalam, di mana air rawa meninggi dan lahan gambut yang biasanya bisa ditanami semangka, ubi nagara atau bisa disebut gumbili, labu, kacang nagara hingga padi tenggelam di banyak bagian.

Saat itu pula masyarakat setempat di sana untuk sementara waktu beralih mata pencarian menjadi nelayan dengan menangkap ikan di rawa gambut.

Darpini, salah seorang warga Desa Baruh Jaya pun melakukan hal sama. Pada Selasa sore (10/1), teras samping rumah panggungnya tampak penuh dengan tumpukan tempirai yang terbuat dari kawat dan lukah yang terbuat dari bambu, semua sengaja disiapkan untuk menangkap ikan haruan atau gabus, seluang, hingga sepat di rawa gambut.

Kalau musim dalam seperti sekarang ini sekali angkat satu lukah atau tempirai dalam sehari bisa dapat seperempat hingga satu kilogram (kg). Padahal dalam satu hari satu nelayan yang hidup di atas rawa gambut Nagara ini bisa menempatkan hingga 50 tempirai dan atau lukah di sana.

Hasilnya pun bisa dikatakan lebih dari lumayan karena harga ikan haruan segar sekarang ini bisa mencapai Rp22.000 per kg, sedangkan seluang bisa mencapai Rp30.000 hingga Rp60.000 per kg. Berbeda dengan ukuran seluang yang kecil-kecil layaknya ikan wader di Jawa, ukuran haruan di rawa gambut Nagara cukup besar banyak yang lebih dari satu kg per ekornya.

Harga ikan-ikan ini menjadi semakin tinggi ketika para ibu di sana mengolahnya menjadi ikan asin. Harga haruan asin mencapai Rp100.000 per kg sedangkan seluang atau sepat asin bisa mencapai Rp80.000 per kg, dan semuanya menjadi oleh-oleh yang paling dicari dari Nagara selain semangka dan ubinya yang juga berukuran besar.

Musim dalam, menurut Darpini, bisa berlangsung dari bulan 10 hingga bulan satu di tahun berikutnya. Meski jumlah ikannya tidak sebanyak ketika perkebunan sawit belum dibuka di kecamatan tersebut, namun ikan tetap menjadi sumber penghidupan yang penting bagi mereka hingga saat ini.

Ketika hujan tidak lagi turun, air rawa mulai surut dan permukaan lahan gambut mulai tampak, anggota Kelompok Tani Ray 10 dari Desa Baruh Jaya lainnya Bakri (35) mengatakan masyarakat di Baruh Jaya mulai menyemai bibit semangka, gumbili dan palawija. Dalam waktu 67 hari biasanya semangka sudah siap dipanen dan siap "membanjiri" Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.

"Bahkan ada juga yang dikirim hingga Jakarta dan Singapura," ujar Bakri.

Dengan perawatan yang bagus seribu pohon semangka di lahan seluas satu hektare (ha), menurut dia, bisa menghasilkan 10 hingga 20 ton semangka.

"Coba ke sini pas panen, wah itu puluhan jukung berisi penuh semangka ditarik ces (jukung kelotok) terlihat di mana-mana".

Keluarga Bakri punya lahan gambut cukup luas mencapai 11 ha, dan saat Antara berkunjung ke sana, sejauh mata memandang yang terlihat pucuk-pucuk tumbuhan air, semak bekas terbakar, belukar, eceng gondok, teratai, sedikit purun menyembul dari dalam air rawa.

"Memang kalau seperti sekarang ini terlihat seperti lahan tidur, tapi sebenarnya enggak, karena kami justru cari ikan di sini," ujar Bakri.

Ketua Persatuan Tani Nagara Lamsun yang tinggal di Desa Banua Hanyar saat ditemui sedang beristirahat di lahan gambutnya yang berlokasi di Desa Samuda, Kecamatan Daha Selatan, mengatakan harga semangka saat ini lumayan bagus karena memang belum "banjir".

Biasanya pengumpul semangka Nagara memberi harga terendah Rp600 per kg, sedangkan yang tertinggi bisa mencapai Rp5000 per kg dan dianggap cukup baik karena dengan harga tersebut banyak masyarakat di Distrik Nagara ini yang bisa menunaikan ibadah haji dan umroh.


(Salah satu produk ikan sepat kering Nagara yang menjadi buah tangan paling dicari dari Distrik Nagara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.)



Pengaruh sawit

Saat menyusuri rawa gambut Distrik Nagara dengan menggunakan ces, sempat tampak pula ranting belukar tinggi yang legam seperti habis terbakar menyembul dari dalam air. Bakri membenarkan jika area lahan gambut yang sekarang tergenang itu sempat ikut terbakar di 2015.

Sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit milik PT Subur Agro Makmur (SAM) yang mulai beroperasi pada 2009 dengan memegang izin pembukaan lahan Nomor 55/315/pml/hutbun dari Pemda setempat seluas 14.000 ha memberikan dampak signifikan bagi masyarakat setempat, menurut Bakri.

Persoalannya bukan saja membuat masyarakat jadi rutin merasakan kabut asap saat kemarau atau jumlah ikan yang semakin menurun karena kadar air rawa yang semakin masam, tapi juga hilangnya lahan sebagai modal masyarakat hidup dan berkembang di sana.

Pembentukan kanal atau drainase di sana membuat lahan menjadi kering saat musim panas atau kemarau, akibatnya menjadi mudah terbakar.

"Bukan pohon sawitnya sebenarnya yang membuat lahan gambut menjadi kering, tapi kanal-kanal yang dibuat yang membuat air gambut keluar dalam jumlah banyak dan kemudian mengering," kata ahli kimia tanah yang juga merupakan guru besar Universitas Lambung Mangkurat Prof Ir H Fadly Hairannoor Yusran.

Ia menjelaskan bagaimana kondisi lahan di Kalimantan, di mana terdapat lapisan gambut dengan beragam kedalaman, lahan kering karena gambut dibuat kanal dan batu bara dangkal yang saat musim kemarau menjadi sangat kering.

Sehingga dengan gesekan semak pun memungkinkan memunculkan api, sedangkan saat musim hujan air masuk hingga ke lapisan batu bara tapi kadang tidak mampu menjangkau dan memadamkan api.

Kondisi di atas, menurut dia, sangat berbeda dengan lahan gambut yang memang kondisinya masih baik, di mana satu gram gambut kering bisa "mengikat" paling tidak satu kg air. Saat curah hujan tinggi dan perubahan iklim terjadi tidak akan ada dampak lingkungan yang timbul jika sejak awal lahan gambut tidak di ganggu.

Perkataan Darpini soal mulai berkurangnya tangkapan ikan dan perkataan Bakri dan Lamsun yang menyebut butuh lebih banyak lagi pupuk untuk bisa mengembangkan semangka hingga gumbili di lahan gambut di sana setelah adanya perkebunan sawit tidak pula salah. Karena Fadly menyebutkan bagaimana intervensi manusia mengeringkan gambut sehingga mempercepat proses oksidasi bahan organik yang terkena udara di lahan tersebut membuat reaksi kimia yang memunculkan berbagai macam asam organik.

"Itu lah yang menyebabkan masam. Plus jika bawah gambut tersebut ada lapisan sulfida sempat naik ke permukaan teroksidasi dengan udara dia akan menjadi asam sulfat, kalau sudah seperti itu tidak ada yang bisa hidup di sana," ujar dia.

Terkait begitu hebatnya hasil panen semangka dan gumbili Nagara yang ditanam di lahan gambut, Fadly mengatakan pada dasarnya masyarakat lokal memiliki kearifannya sendiri. Ada sistem-sistem bercocok tanam di lahan gambut yang sudah termodifikasi, karena sebenarnya mereka tidak mananamnya 100 persen di lahan gambut, sehingga tidak terjadi proses oksidasi yang menimbulkan keasaman.

"Ada riwayat mereka kenal seperti di Thailand juga ada sebutan semacam tanah ambul yang saat musim hujan tanah itu mengapung karena ditanami vegetasi khusus rumput minyak dan bisa ditanami dengan tumbuhan seperti cabai, sama di Nagara juga seperti itu. Dan ketika surut, tanah ini lah yang sebenarnya ditanami dengan ubi jalar dan lain-lainnya," ujar dia.

Tidak heran jika semangka, gumbili, kerbau kalang bahkan itik alabio bisa hidup di ekosistem rawa gambut tersebut jika kondisinya tanah dan airnya tidak masam, lanjut Fadly.

Atas alasan itu masyarakat petani dan nelayan di Distrik Nagara berteriak menolak hadirnya perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kekhawatiran mereka terganggunya mata pencarian bahkan hingga kehilangan lahan begitu besar.

"Sekitar 20 hari lalu saya baru rugi Rp45 juta karena gagal panen semangka gara-gara banjir. Tapi paling tidak saya tidak tertekan dua kali karena saya masih punya lahan untuk bertani lagi setelah ini, sementara warga desa lain yang terlanjur jual lahannya kini hanya jadi buruh (perkebunan sawit)," ujar Lamsun setelah juga sebelumnya menceritakan lahan 2000 ha milik warga desanya yang kini hanya tersisa 180 ha saja.

Lamsun, Darpini dan Bakrie hanya beberapa dari ribuan bahkan puluhan ribu warga desa dari Distrik Nagara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, yang memiliki asa hidup di atas ekosistem rawa gambut. Jika memang lahan gambut tersebut merupakan lahan tidur yang tidak bermanfaat yang kemudian dianggap pantas dikelola satu perusahaan saja ketimbang puluhan ribu orang yang hidup di atasnya, maka tidak mungkin mereka mampu menunaikan haji dan umroh beberapa kali.

Direktur Walhi Kalimantan Selatan Kisworo Dwi Cahyono sebelumnya mengatakan jika di Kalimantan Selatan hal yang dihadapi untuk menyelesaikan persoalan gambut sangat politis, mengingat saat ini perizinan yang semakin banyak diberikan justru mengarah ke lahan gambut. Sebagai informasi, 50 persen luas lahan Kalimantan Selatan sudah dikuasai pertambangan hingga perkebunan sawit.

Karena itu dirinya juga sempat meminta kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk memperhatikan tata kelola perhutanan sosial, termasuk di lahan gambut, mengingat terkadang kehadiran masyarakat di satu lokasi sudah ada bahkan sebelum masa kemerdekaan. Sehingga yang perlu dilakukan adalah mendukung masyarakat bahkan hingga memberi pasar dari hasil budidaya di lahan gambut tersebut.





Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017