Jakarta (ANTARA News) - Penyakit Kusta beberapa kali muncul di daerah karena adanya anggapan buruk atau stigma terhadap penyakit dengan nama lain Lepra tersebut, kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan HM Subuh.

"Tantangan yang kita hadapi adalah mengatasi masalah stigma ini," kata Subuh di Jakarta, Jumat.

Dia mengatakan stigma tersebut memicu isolasi sosial terhadap penderita Kusta sehingga banyak yang menjauhi penderitanya. Di sisi lain, penderita menyembunyikan penyakit Kustanya karena takut mendapatkan perlakuan isolasi dari lingkungan sekitarnya.

Stigma terhadap penderita Kusta, kata dia, juga memicu penderitanya menutup diri mengenai penyakitnya. Akibatnya, penanganan dan penularan penyakit tersebut tidak dapat diantisipasi karena penderita tidak melaporkan mengenai gangguan kulit yang dialaminya tersebut.

Dengan kata lain, penderita cenderung menyembunyikan penyakitnya dan tidak berobat. Jika dibiarkan maka Kusta tersebut dapat menggerogoti penderita dengan dampak cacat permanen hingga kematian. Dampak lainnya, penyakit tersebut dapat menulari keluarga atau orang di sekitarnya.

Dia mengatakan apabila tidak ada keterbukaan penderita Kusta maka antisipasi dini dan pengobatan penyakit tersebut tidak dapat dilakukan.

Stigma Kusta, kata Subuh, terjadi karena rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat terhadap penyakit yang disebabkan bakteri yang menyerang kulit dan syaraf tepi. Dampak Kusta membuat kulit mati rasa dan perlahan dapat memicu kecacatan permanen pada organ tubuh yang terjangkiti bakteri Kusta.

Dia mengatakan wilayah Sumatera dan sebagian besar Jawa dinyatakan telah bersih dari penyakit tersebut. Kendati begitu, beberapa wilayah Indonesia timur belum masuk kategori daerah eliminasi Kusta seperti Papua, Maluku, Sulawesi serta Kalimantan Utara.

Dia mengatakan pemerintah terus mengupayakan agar Kusta dapat dieliminasi secara nasional pada 2019. Upaya yang dilakukan adalah dengan menyisir penderita Kusta di banyak daerah di Indonesoa dengan dukungan lintas sektor.

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017