Jakarta (ANTARA News) - KPK menyita 28 stempel lembaga kehalalan termasuk beberapa yang bertuliskan kementerian dari penggeledahan di empat tempat terkait dugaan kasus suap PT Sumber Laut Perkasa kepada hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar.

"Dari penggeledahan, ditemukan dan disita sejumlah dokumen transaksi keuangan, bukti kepemilikan perusahaan dan 28 cap atau stempel yang bertuliskan nama kementerian atau direktorat jenderal di Indonesia dan organisasi internasional dari beberapa negara yang terkait dengan importasi daging di dunia," kata Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah di gedung KPK Jakarta.

Penggeledahan itu dilakukan di empat lokasi yaitu rumah tersangka Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman di Pondok Indah, rumah tersangka hakim konstitusi Patrialis Akbar di Cipinang, di ruang kerja Patrialis di MK dan di kantor PT Sumber Laut Perkasa di Sunter Jakarta Utara.

Penggeledahan dilakukan sejak Jumat (27/1) pukul 02.00 WIB sampai malam harinya.

"Stempel itu di antaranya adalah stempel Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI, beberapa label halal dari negara pengekspor daging seperti Austalian Halal Food Services, Islamic Coordinating Council of Victoria, Queensland, Kanada dan China," tambah Febri.

KPK pun masih akan mempelajari keaslian stempel-stempel tersebut.

"KPK akan mempelajari cap atau stempel yang seolah-olah berasal dari negara-negara dan organisasi yang bergerak di bidang sertifikasi halal dan importasi daging itu," ungkap Febri.

Terkait hal inni, KPK juga kemungkinan akan memanggil orang-orang yang terkait dengan stempel-stempel tersebut termasuk dari Kementerian Perdagangan maupun Kementerian Pertanian.

"Apakah dibutuhkan pemanggilan untuk dikonfirmasi dari Kementan dan Kemendag terkait stempel yang ditemukan di kantor BHR di Sunter, penyidik akan mempertimbangkan relevansinya, jika relevan akan dilakukan pemeriksaan saksi-saksi," tambah Febri.

KPK ke tahap kesimpulan apakah stempel tersebut asli atau palsu atau apakah perusahaan milih Basuki juga melakukan penipuan terkait proses impor daging sapi.

Dalam perkara ini hakim konstitusi Patrialis Akbar diduga menerima hadiah dalam bentuk mata uang asing sebesar 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) dari Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman agar permohonan uji materil Perkara No 129/PUU-XIII/2015 tentang UU Nomor 41 Tahun 2014 Peternakan Dan Kesehatan Hewan dikabulkan MK.

Perkara No 129/PUU-XIII/2015 itu sendiri diajukan oleh 6 pemohon yaitu Teguh Boediayana, Mangku Sitepu, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Gun Gun Muhammad Lutfhi Nugraha, Asnawi dan Rachmat Pambudi yang merasa dirugikan akibat pemberlakuan zona "base" di Indonesia karena pemberlakuan zona itu mengancam kesehatan ternak, menjadikan sangat bebasnya importasi daging segar yang akan mendesak usaha peternakan sapi lokal, serta tidak tersedianya daging dan susu segar sehat yang selama ini telah dinikmati.

Suap diduga diberikan agar MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi tersebut.

UU itu mengatur bahwa impor daging bisa dilakukan dari negara "zone based", yaitua impor bisa dilakukan dari negara yang sebenarnya masuk dalam zona merah (berbahaya) hewan ternak bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK), termasuk sapi dari India.

Hal itu berbeda dengan aturan sebelumnya, yakni "country based" yang hanya membuka impor dari negara-negara yang sudah terbebas dari PMK seperti Australia dan Selandia Baru. Australia adalah negara asal sapi impor PT Sumber Laut Perkasa.

Patrialis bersama dengan orang kepercayaannya Kamaludin disangkakan pasal 12 huruf c atau pasal 11 UU No 31/1999 sebagaimana diubah UU No 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama seumur hidup atau 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Tersangka pemberi suap adalah Basuki dan sekretarisnya, Ng Fenny, yang disangkakan pasal 6 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.

(T.D017/A013)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017