Jakarta (ANTARA News) - Sekitar 90 persen dari jumlah keseluruhan 141 Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) atau jembatan timbang akan diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Perhubungan mulai Februari mendatang.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Pudji Hartanto Iskandar saat ditemui dalam penyerahaan penghargaan Wahana Tata Nugraha di Jakarta, Selasa, mengatakan dari lebih 100 jembatan timbang, 10 persennya sudah beralih fungsi.

"Sudah beralih fungsi, seperti gudang fisiknya tetap diserahkan tetapi fungsinya bukan lagi sebagai jembatan timbang," katanya.

Pudji mengatakan 90 persen atau sekitar 127 jembatan timbang tersebut melalui Proses Pelimpahan Kewenangan Personel, Pendanaan, Sarana dan Prasarana serta Dokumen (P3D) akan diserahkan oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) kepada Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada 3 Februari 2016 saat peresmian Terminal Ponorogo, Jawa Timur.

Terkait operasional, Pudji mengatakan pihaknya akan memberlakukan prosedur standar operasi (SOP) yang terbaru, salah satunya bagi kendaraan yang mengangkut kelebihan barang, kelebihan barang tersebut akan ditempatkan di gudang.

"Yang melanggar itu tetap ditilang, tapi nanti kita akan ada kerja sama dengan Pemda (barang berlebih) akan diturunkan dan ada warehouse (gudang), itu Pemda yang akan mengelola nanti kita hitung (biaya sewa gudang)," katanya.

Penyerahan jembatan timbang ke pemerintah pusat awalnya ditargetkan pada Januari 2017, namun terdapat sejumlah pemerintah daerah yang masih alot menyerahkan pengelolaan jembatan timbang tersebut karena merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD).

Sementara itu, Ketua DPP Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) Adrianto Djokosoetono sebelumnya meminta pemerintah, dalam hal ini, Kemenhub untuk tegas dalam menegakan peraturan soal jembatan timbang yang pengoperasiannya diserahkan ke pemerintah pusat.

"Organda mendukung karena tujuannya baik memastikan standar kapasitas, dimensi, maupun berat. Namun, enforcement (penegakan) hukum perlu dilakukan," katanya.

Sebab, Adrianto menjelaskan, apabila pihak yang melanggar itu dibiarkan maka akan merusak jalan, sehingga aktivitas angkutan jalan lainnya akan terhambat.

"Misalnya overweight (kelebihan beban) itu akan diapakan, kalau didenda, siapa yang akan didenda, apakah pengangkutnya saja atau pemilik barangnya, itu yang kami pikir perlu dipastikan lagi sampai ke sana," katanya.

Menurut dia, tanggung jawab kendaraan tetap di perusahaan, namun pemilik barang juga harus setuju apabila barang harus diturunkan karena kelebihan.

"Dua-duanya harus tanggung jawab, sekarang begini kalau beda (kelebihan) 10-20 persen itu wajarw tapi kalau sampai 100 persen itu mengangkut dua kali lipatnya," katanya.

Untuk itu, Adrianto menilai, bukan hanya perusahaan, tetapi pemilik barang juga harus taat terhadap aturan.

"Pemilik barang ini termasuk salah satu rantai yang harus diputus. Rantai itu sulit diputus, tinggal bagaimana kita enforcement saat barang itu kelebihan, bisa ditahan atau apa," katanya.

Ia mencontohkan penegakan hukum di pelabuhan bahwa apabila kelebihan beban atau muatan, barang tidak bisa diangkut dan pemilik barang pun tidak mau mengangkut.

"Hal ini tidak akan terjadi jika ada enforcement (penegakan), contohnya di pelabuhan," katanya.

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017