Jadi, seluruhnya sudah saya terangkan dan saya mengapresiasi ternyata KPK betul-betul profesional."
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat mengaku ditanya oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) proses register sampai putusan soal permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

"Pada hari ini saya datang ke KPK untuk memberi keterangan, pertanyaan yang disampaikan kepada saya adalah yang pertama bagaimana proses mulai dari register perkara sampai putusan itu dibacakan, itu yang diminta," kata Arief seusai diperiksa sebagai saksi dalam tindak pidana korupsi suap terkait uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 di gedung KPK, Jakarta, Kamis.

Arief menyatakan bahwa dirinya telah menjelaskan seterang-terangnya dan sebenar-benarnya dalam perkara pengujian undang-undang yang berkenaan dengan peternakan dan kesehatan hewan itu.

"Jadi, seluruhnya sudah saya terangkan dan saya mengapresiasi ternyata KPK betul-betul profesional," tuturnya.

Ia pun merasa tidak ada penekanan dan diperiksa secara proporsional dan profesional oleh penyidik KPK.

"Saya merasa keterangan saya memang diperlukan di dalam rangka untuk mencari kebenaran materiil sehingga kasus ini bisa terbuka dan yang betul memang betul dan yang salah memang salah, jadi saya kira saya sangat mengapresiasi dan berterima kasih kepada KPK," tuturnya.

Ia pun menegaskan bahwa kasus Patrialis bukan kasus yang menyangkut institusi MK.

"Semua sistem yang dibangun oleh MK itu sistemnya sudah baik, meskipun di sana-sini kami harus selalu memperbaiki sistem itu supaya kelak di kemudian hari tidak terjadi hal-hal semacam itu," ucap Arief.

Ia pun menambahkan bahwa setelah ada kasus Patrialis Akbar, MK membuka akses seluas-luasnya kepada KPK untuk memeriksa siapa pun di MK, termasuk seluruh hakimnya.

Sebelumnya, mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena diduga menerima hadiah dalam bentuk mata uang asing sebesar 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) dari Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman agar permohonan uji materil Perkara No 129/PUU-XIII/2015 tentang UU Nomor 41 Tahun 2014 Peternakan Dan Kesehatan Hewan agar dikabulkan MK.

Perkara No. 129/PUU-XIII/2015 itu sendiri diajukan oleh 6 pemohon yaitu Teguh Boediayana, Mangku Sitepu, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Gun Gun Muhammad Lutfhi Nugraha, Asnawi dan Rachmat Pambudi yang merasa dirugikan akibat pemberlakuan zona "base" di Indonesia karena pemberlakuan zona itu mengancam kesehatan ternak, menjadikan sangat bebasnya importasi daging segar yang akan mendesak usaha peternakan sapi lokal, serta tidak tersedianya daging dan susu segar sehat yang selama ini telah dinikmati.

UU itu mengatur bahwa impor daging bisa dilakukan dari negara "Zone Based", dimana impor bisa dilakukan dari negara yang sebenarnya masuk dalam zona merah (berbahaya) hewan ternak bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), termasuk sapi dari India.

Hal itu berbeda dengan aturan sebelumnya, yakni "country based" yang hanya membuka impor dari negara-negara yang sudah terbebas dari PMK seperti Australia dan Selandia Baru. Australia adalah negara asal sapi impor PT Sumber Laut Perkasa.

Patrialis bersama dengan orang kepercayaannya Kamaludin disangkakan pasal 12 huruf c atau pasal 11 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah UU No. 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama seumur hidup atau 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Tersangka pemberi suap adalah Basuki dan sekretarisnya, Ng Fenny, yang disangkakan pasal 6 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017