Jakarta (ANTARA News) - Namanya Abdul Moneim Mahmud. Dia muda, berpendidikan tinggi, dan akrab dengan teknologi informasi. Dia terpesona pada demokrasi, satu keterpesonaan yang justru membuatnya dibenci oleh salah satu pemerintah paling otoriter di dunia, rezim Husni Mubarak di Mesir. Mahmud dianggap berbahaya oleh penguasa Mesir, terlebih karena dia angggota Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim) yang adalah musuh nomor wahid rezim Mubarak. Mahmud mengenalkan metode perjuangan baru kepada Ikhwanul dengan memanfaatkan internet guna merekrut para pemuda dan membangun aliansi dengan para aktivis sekuler demi reformasi politik di negeri para firaun itu. Mahmud yang jurnalis dan pengacara HAM menyebarluaskan idenya dalam Bahasa Arab melalui blognya "I am a Brother." Masalahnya, gagasan dan pemikirannya tak hanya menarik perhatian para pemuda Mesir, tetapi juga membuat aparat keamanan terusik. Mahmud pun ditangkap dan dibui, padahal tak ada satu pasal pun yang menyebutkan dia telah berbuat kriminal. "Dia sangat, sangat aktif menarik kaum muda (menjadi anggota Ikhwanul Muslimin). Dia memodernisasi media dan sistem komunikasi politik kami. Dan blognya telah menarik perhatian kawula muda Mesir dan ini membuat penguasa terancam," kata Muhammad Ghuzlan, anggota muda Ihwanul dan teman karib Mahmud, seperti dikutip "The Christian Science Monitor" (2/5). Saat ini penguasa Mesir tengah melakukan salah satu pencidukkan paling liar di dunia. Fokus pemburuan adalah para aktivis Ikhwanul Muslimin yang menjadi oposan terbesar Mubarak. Menurut Human Rights Watch, tahun lalu saja lebih dari 1.000 anggota Ikhwanul ditangkap karena aktivitas politik damainya menentang pemerintah. Akan halnya Mahmud, dia kini menjadi salah seorang pesakitan berpengaruh, terutama karena popularitas blog internetnya. "Penahanan Mahmud adalah ancaman terhadap kebebasan mengutarakan pendapat," kata Elijah Zarwan, periset pada Human Rights Watch. "Mahmud ditangkap karena telah mengelola situs berbahasa Inggris milik Ikhwanul, mengajak kawula muda aktif dan mengikutinya membuat blog, dan berulangkali mengritik pedas pemerintah di berbagai konferensi internasional mengenai hak asasi manusia." Dalam blognya, Mahmud berbicara lantang mengenai penggunaan kekerasan oleh aparat Mesir. Ironisnya, keprihatinan dia sebenarnya bersifat personal, bukan mewakili pandangan Ikhwanul Muslimin. Mahmud melukiskan penderitannya selama di penjara Tora pada 2003. Waktu itu, bersama kawan-kawannya dia disuruh berdiri selama 14 jam dan jika tumbang maka sipir akan datang menyiksa. Suatu kali dia dipindahkan ke sel pengasingan. Di sini ia disiksa dan dipaksa menutup matanya selama 13 hari. Di samping pengakuan itu, Mahmud aktif berbicara tentang kebebasan berekspresi dan mendesak rakyat Mesir untuk mengambilnya dari pemerintah Mubarak yang diktatural. "Kebebasan itu lebih penting dibanding makanan untuk orang miskin. Kebebasan adalah prioritas utama kita," kata Mahmud dalam blognya. Akibatnya, Mahmud diseret ke penjara politik paling terkenal di Mesir, Penjara Tora. Apalagi, sekarang ini rezim Mubarak sangat agresif menyerang oposisi. Ibrahim al Hudaibi, anggota muda Ikhwanul lainnya mengungkapkan, kampanye pencidukkan oposisi adalah demi memuluskan jalan Gamal Mubarak, putra Presiden Hosni Mubarak yang posisinya sentral dalam proses perencanaan politik partai berkuasa, Partai Demokratik Nasional (NDP). "Kami semua dianggap rintangan oleh NDP. Oleh karena itu mereka ingin memastikan semua tokoh kunci kelompok oposisi berada di penjara," kata Hudaibi. "Mereka memburu kami bukan karena kami aktivis Islam, tapi karena kami adalah oposisi terkuat di Mesir." Hudaibi yang tengah berada di luar negeri menduga pemerintah akan memenjarakannya begitu balik ke Mesir suatu hari nanti, tapi dia mengaku tidak takut. Sebaliknya, dia takut serangan pemerintah terhadap oposisi akan menyuburkan terorisme di Mesir. "Inilah serangan paling buruk terhadap Ikhwanul sejak 1950-an. Represi tahun 1950-an telah melahirkan gerakan-gerakan radikal yang akhirnya justru mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Saya menolak kekerasan dan saya akan selalu begitu. Tapi jika orang ditutup mengekspresikan pendapatnya secara damai, beberapa dari mereka pasti beralih ke kekerasan." Diam Yang menarik dalam kasus penangkapan Mahmud dan para aktivis Ikhwanul Muslimin adalah sikap diam pemerintah AS padahal mereka dulu paling getol perlunya mereformasi kehidupan demokrasi di Mesir sambil berulangkali menekan Husni Mubarak untuk lebih demokratis. Tapi kini, AS tak lagi berhasrat menekan Mubarak dan beberapa negara Arab lain sejak Ihkwanul Muslimin sukses meraih mayoritas di parlemen Mesir pada 2005 dan Hamas memenangkan pemilu Palestina. Tak mengherankan jika AS bungkam menanggapi penangkapan Mahmud dan proses peradilan militer Mesir terhadap 40 anggota Ikhwanul lain menyusul aktivitas politik mereka akhir-akhir ini. "Pada 2005, ada tekanan dari AS agar kawasan ini mendemokratisasi diri dan ini memuluskan perjuangan kami. Tapi, sejak kaum Islamis menang pemilu, AS mengubah haluan. Mungkin ini berkaitan dengan kepentingan jangka pendek AS, tapi harap ingat dukungan brutal AS kepada rezim-rezim totaliter di Timur Tengah telah membuat beberapa orang tak sabar hingga kemudian melahirkan orang-orang seperti Ayman al Zawahiri atau Usamah bin Ladin," kata Ghuzlan. Al Zawahiri dan Bin Ladin adalah dua tokoh kunci al Qaidah. Pemerintah AS, yang setiap tahun mengalokasikan dana 2 miliar dolar AS kepada Mesir, memang pernah bersuara keras terhadap aksi anti oposisi oleh pemerintah Mubarak, tapi yang dibela AS adalah seorang aktivis sekuler. Saat itu, pada 22 Februari 2007, Deputi Juru Bicara Deplu AS Tom Casey mengritik penangkapan Abdul Karim Sulaeman, seorang bloger sekuler Mesir, oleh aparat keamanan Mesir. Abdul Karim ditangkap pemerintah karena telah mengritik Islam. Uniknya, AS membela Sulaeman dengan mengatakan, "kebebasan berekspresi adalah penting dalam membangun kehidupan demokratik dan masyarakat madani." Pandangan bias lain dari pemerintah AS adalah saat menanggapi reformasi konstitusi Mesir yang diluncurkan akhir Maret lalu yang dianggap orang Mesir sebagai upaya membelenggu gerak oposisi. Juru Bicara Deplu AS Sean McCormack memang menyampaikan kritik terhadap konstitusi baru itu namun tetap menyampaikan pujian pada Mubarak. "Jika menengok ke belakang, anda akan melihat telah terjadi reformasi politik besar di Mesir." Padahal, dalam konstitusi baru ini ada semangat tirani dengan melegalkan pengadilan militer untuk kelompok sipil. Pemakluman AS ini membuat pemerintah Mubarak leluasa bertindak keras terhadap oposisi, terutama Ikhwanul Muslimin, termasuk dengan memakai tameng antiterorisme. "Tiadanya tekanan dari luar membuat rezim ini anteng melakukan tindakan apapun (terhadap kaum oposisi)," kata Zarwan. Pada 2005, saat mengunjungi Mesir, Menlu AS Condoleezza Rice menyampaikan pernyataan keras mengenai perlunya reformasi demokratis di Mesir, tapi kini AS hanya akan berbicara soal ini di tingkat terbatas pemerintahan, bukan kepada rakyat Mesir keseluruhan. Di tatar lain, reaksi pemerintah AS terhadap penangkapan aktivis Ikhwanul memang amat berbeda dibanding saat mereka menanggapi penangkapan aktivis HAM oleh pemerintah Suriah yang dimusuhi AS. Ketika aktivis HAM Anwar al Bunni ditangkap pemerintah Suriah, McCormack menyebut Suriah telah melanggar prinsip universal kebebasan berbicara dan telah bertindak keji dengan membungkam dan mengintimidasi rakyat Suriah. Lanjut Terus Meski rezim Mubarak kian giat menekan oposisi dan menangkapi orang-orang kritis dengan AS yang diam mematung menyaksikan hal ini, sebagian besar blogger politik di Mesir bertekad terus melanjutkan pengenalan ide-ide politiknya via internet ke publik. Tetapi, ada beberapa yang memutuskan berhenti, diantaranya blog yang dikelola seseorang yang menyebut dirinya "sandmonkey". Blog ini cenderung pro AS, sekuler dan giat mengampanyekan ide-ide liberal. Aparat keamanan telah mengganggu jaringan teleponnya sehingga blog ini tak bisa diakses orang. "Agen-agen pemerintah mengintip rumahku dan menggangu saluran telpon sehingga blogku tak bisa dibuka," kata "sandmonkey". Tak semua blog berisi kecaman terhadap rezim Husni Mubarak, namun fakta bahwa kebanyakan bloger menyuarakan suara anti pemerintah telah membuat rezim Mubarak makin gemar menciduk para aktivis dunia maya. "Perasaan khawatir ditangkap aparat terus meningkat di kalangan bloger di Mesir. Makanya saya tidak heran jika Abdul Moneim Mahmud dipenjarakan," kata jurnalis Iskandar al Amrani. Tetapi, menurut para anggota muda Ikhwanul Muslimin upaya Mubarak melakukan penangkapan besar-besaran tak akan mengerdilkan kekuatan Ikhwanul Muslimin. "Dunia telah berubah. Banyak cara untuk mengorganisasi diri, buktinya dengan blog dan milis kami berhasil saling berinteraksi dan menggali simpati publik. Pokoknya, tak ada kata mundur dari kami," kata Ghuzlan.(*)

Oleh Oleh A. Jafar M. Sidik
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007