Hal ini merefleksikan masih adanya persoalan ketidakadilan gender di Indonesia. Posisi anak perempuan masih rentan menjadi korban kepentingan pihak lain dan situasi ini menjadikan anak perempuan semakin rentan mengalami pemiskinan di masa depannya."
Jakarta (ANTARA News) - Fatayat Nahdlatul Ulama berupaya mengurangi praktik perkawinan di bawah umur yang tercatat masih tinggi di Tanah Air bahkan menempatkan Indonesia pada level kedua setelah Kamboja di tingkat ASEAN.

"Fatayat NU mendorong dan berupaya keras untuk terus memberikan advokasi guna mengurangi praktik pernikahan di bawah umur untuk lebih menciptakan kemaslahatan," kata Ketua Umum Fatayat NU Anggia Ermarini di Jakarta, Rabu.

Berbicara dalam Seminar Kajian Perkawinan Anak dan Upaya Penanggulangannya kerja sama PP Fatayat NU dengan Ford Foundation, Anggi mengatakan realitas perkawinan anak di Indonesia masih mudah ditemui di berbagai kalangan kelas sosial masyarakat.

Data Susenas tahun 2012 menyebutkan bahwa anak perempuan yang menikah dalam rentang usia 10-15 tahun mencapai angka 11,13 persen, sedangkan anak perempuan yang menikah usia antara 16-18 tahun sebanyak 32,10 persen.

"Hal ini merefleksikan masih adanya persoalan ketidakadilan gender di Indonesia. Posisi anak perempuan masih rentan menjadi korban kepentingan pihak lain dan situasi ini menjadikan anak perempuan semakin rentan mengalami pemiskinan di masa depannya," katanya.

Maraknya praktik perkawinan anak menurut dia merefleksikan adanya dua kekuatan wacana yang saling mempertahankan. Di satu sisi, wacana perkawinan anak diperjuangkan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap anak.

Di sisi lain, sejumlah pihak mempertahankan praktik perkawinan anak dan menyosialisasikannya sebagai salah satu tren dan gaya hidup yang positif. Dengan dalih menjaga harga diri dan menerapkan ajaran agama, perkawinan anak dianggap dibolehkan, bahkan dianjurkan.

"Padahal cukup banyak fakta telah menunjukkan betapa perkawinan anak nyata-nyata melahirkan banyak persoalan, baik bagi masing-masing individu yang melangsungkan perkawinan, kekuatan institusi perkawinan yang dibangun, masa depan anak, serta masa depan bangsa," katanya.

Ia menyayangkan upaya hukum yang dilakukan sejumlah LSM dengan melakukan uji materi pada Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak membuahkan hasil yang diharapkan.

"Meski demikian kita perlu tetap mengkaji kembali kebijakan UU perkawinan tersebut," kata Anggi.

Ia mengatakan hasil seminar akan disebarkan pada seluruh cabang Fatayat NU guna memperkuat peran organisasi itu dalam mengadvokasi hak-hak perempuan dan anak.

Ia juga berharap informasi konstruktif ini dapat menjadi acuan bagi masyarakat, terutama para tokoh masyarakat dan tokoh agama, agar turut serta mengambil peran penting dalam upaya mencegah praktik perkawinan anak ini.

"Saya berharap semua tokoh masyarakat terlibat dan proaktif dalam mempersiapkan generasi, keluarga, dan bangsa yang maslahah," kata Anggi.

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017