Canberra (ANTARA News) - Sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak tegas dalam masalah "reshuffle" (perombakan) Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang sesungguhnya merupakan hak prerogatifnya muncul, karena pemerintahannya dibangun dengan sistem "semi presidensial", kata seorang analis politik. "Istilah saya, pemerintahan SBY-JK (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla-red) ini dibangun dengan 'semi-presidential system'," kata analis politik Universitas Airlangga, Kacung Marijan, MA, PhD, kepada ANTARA di Canberra, Jumat. Pakar politik yang hingga Juni 2007 menjadi dosen tamu atau "visiting fellow" pada Departemen Politik dan Perubahan Sosial Universitas Nasional Australia (ANU) itu mengatakan kendati sistem pemerintahan di Indonesia adalah "presidential", Presiden SBY berasal dari partai politik kecil, sehingga ia tidak bisa mengatur negara secara leluasa kecuali mendapat dukungan mayoritas parlemen. Jika di Eropa, pemerintahan dibangun berdasarkan sistem parlementer dimana pemerintahan ditangani dua eksekutif, yakni presiden/raja dan perdana menteri, maka di Indonesia yang melakoni peran perdana menteri adalah Wapres Jusuf Kalla karena kekuatan Fraksi Partai Golkar yang dominan di parlemen, katanya. "Secara faktual kira-kira analogi saya, yang perdana menterinya adalah Jusuf Kalla yang mengendalikan parlemen. Jadi pamerintahan dikendalikan oleh Presiden dan Jusuf Kalla karena kekuatannya di parlemen. Akibatnya, SBY banyak tergantung pada Jusuf Kalla." "Dalam persoalan reshuffle ini, mau tidak mau Presiden Yudhoyono mempertimbangkan posisi Jusuf Kalla (Ketua Umum Partai Golkar-red) secara politik walaupun secara konstitusional Presiden tidak punya kewajiban untuk berkonsultasi dengan wakilnya. Inilah yang saya istilahkan dengan 'semi presidential system'," katanya. Dalam kaitan ini, Kacung Marijan mengatakan ia pesimis bahwa rakyat dapat berharap banyak dari perombakan KIB yang dijanjikan Presiden SBY pada awal Mei ini, karena yang paling mungkin diganti oleh Presiden adalah menteri-menteri yang sakit atau bermasalah, namun tidak punya "cantolan politik". "kita hanya bisa menerka-nerka sekarang kendati yang sudah hampir pasti diganti adalah Meneg BUMN yang dinilai kinerjanya kurang baik dan tidak punya cantolan politik atau Mendagri yang sedang sakit," katanya. Menteri-menteri yang dipersepsi masyarakat "bermasalah", seperti Hatta Radjasa (Menhub), Hamid Awaluddin (Menhuk-HAM) dan Yusril Ihza Mahendra (Mensesneg), tampaknya sulit untuk digeser dari KIB. Walaupun Hatta Radjasa tidak lagi menjabat menteri perhubungan, kemungkinan dia tetap dipertahankan di kabinet karena "cantolan politiknya yang kuat, kata Kacung Marijan. Menhan Juwono Sudarsono Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono disebut-sebut akan diganti karena sakit dan tidak punya cantolan politik yang kuat. Penggantinya disebut-sebut Theo Sambuaga (ketua Komisi I DPR) atau Prof. Dr. Muladi, SH (Gubernur Lemhanas) yang dari segi kapasitas "memadai" untuk menggantikan Juwono, katanya. "Kalau satu di antara dua itu dipilih Presiden Yudhoyono sebagai pengganti Juwono, keduanya juga merupakan kader Partai Golkar," katanya. Menurut Kacung Marijan, kendati Yusril Ihza Mahendra sempat disorot akibat sejumlah persoalan, SBY-JK tampaknya tetap akan mempertahankan dirinya mengingat peran Yusril sebagai pengusung pasangan SBY-JK pada Pemilu lalu. "Jadi SBY-JK punya 'hutang politik' kepada Yusril," katanya. Terkait dengan menteri-menteri ekonomi, ia mengemukakan kendati mendapat sorotan rakyat karena mereka cenderung terlalu mendukung neo-liberal, Presiden Yudhoyono juga bisa saja tidak terlalu banyak menganti menteri-menteri di pos ekonominya, kecuali Meneg BUMN yang selain kinerjanya tidak bagus, cantolan politiknya juga tidak ada. "Kinerja Menteri Perdagangan (Mari Pangestu, red) sebenarnya juga tidak bagus dan cantolan politiknya juga tidak kuat. Namun beliau itu adalah satu-satunya representasi Tionghoa di kabinet. Dugaan saya, SBY akan tetap mempertimbangkan aspek representasi etnis Tionghoa ini, kecuali dia menemukan etnis Tionghoa lain di kabinet mengingat kekuatan ekonomi jaringan pebisnis China di dunia. Ini juga penting menjadi pertimbangan," katanya. Bagi Wapres Jusuf Kalla, mempertahankan atau menempatkan orang-orangnya, khususnya yang berasal dari Sulawesi Selatan, di KIB juga penting bagi kepentingannya membangun kekuatan internal demi pengaruh kekuasaan, sehingga kendati Hamid Awaluddin tidak lagi di KIB, ia bisa jadi diganti oleh orangnya Jusuf Kalla. "Persoalan pengaruh kekuasaan, bukan hanya Presiden Yudhoyono yang ingin, Wapres Jusuf Kalla pun ingin memiliki itu, sehingga ia pun berkepentingan membangun kekuatan internal di KIB," katanya. Terlepas dari siapa menggantikan siapa dalam KIB hasil "reshuffle" yang dijanjikan Presiden Yudhoyono pada Mei 2007 ini, "reshuffle" KBI itu sendiri bukanlah solusi selama akar permasalahan seperti SBY-JK yang belum menjadi pimpinan atau "dirijen" yang baik dan penyakit lama birokrasi yang sangat departemental masih ada. "Birokrasi kita masih `departmental oriented`(berorientasi sektoral, red) dan SBY-JK belum mau menjadi dirijen yang mampu mengkoordinasikan kelompok-kelompok. Kalau hal-hal ini tidak diperhatikan, maka penggantian menteri-menteri itu juga belum akan maksimal untuk menyelesaikan masalah karena persoalan mendasarnya belum tuntas," katanya. Ia mengatakan dalam logika demokrasi yang rasional, para pemilih dalam Pemilu 2009 akan sangat memperhatikan kinerja pemerintah ketika mereka akan menjatuhkan pilihannya nanti. "Jika kinerja pemerintah bagus, ya akan dipilih lagi. Namun jika tidak bagus, tidak lagi dipilih," katanya. Kegagalan pemerintah dalam memperbaiki kinerjanya yang manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat banyak akan meningkatkan jumlah orang yang tidak memilih dalam Pemilu (Golput) dan mengakibatkan rakyat frustrasi, katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2007