Jakarta (ANTARA News) - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Batam menilai, investor di wilayah ini memerlukan kepastian hukum dan investasi agar niat pemerintah untuk menjadikan kawasan ini memiliki daya tarik investasi bagi pelaku usaha dari seluruh dunia, tidak terhambat.

"Apa pun, termasuk investor di Pulau Janda Berhias Batam, kepastian hukum dan investasi ini harus clear (jelas dan pasti, red) bagi siapa pun, termasuk perlindungan bagi pengusaha nasional," kata Ketua Kadin Batam, Jadi Rajagukguk, dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Jumat.

Penegasan tersebut menanggapi polemik investasi Sinopec Holdings, raksasa minyak asal Tiongkok, di Westpoint Maritime Park Pulau Janda Berhias Batam.

Oleh karena itu, dia menilai terhentinya investasi oleh investor Tiongkok di Pulau Janda Berhias itu ini sesungguhnya menunjukkan rendahnya komitmen investor asing tersebut untuk menjalankan perjanjian yang telah disepakati kedua pihak.

"Tidak semua investor asing itu baik. Karena itu jangan hanya dilihat dari rencana investasinya yang besar. Yang paling penting adalah komitmen mereka untuk menjalankan perjanjian yang telah disepakati bersama. Investasi pengusaha nasional harus dilindungi juga," kata Jadi.

Jadi Rajagukguk menambahkan, Batam sebagai kawasan Free Trade Zone (FTZ) memiliki daya tarik investasi bagi pelaku usaha dari seluruh dunia ini akan mulus jika ada kepastian hukum di sana.

"Karena itu pemerintah melalui BP Batam mestinya lebih aktif mempromosikan dan menjalin komunikasi dengan investor global," katanya.

Menurutnya untuk mendatangkan investor ke Batam tidak bisa dilakukan sehari atau sebulan, melainkan butuh waktu panjang karena berkaitan dengan kepercayaan dan prospek bisnis.

Selama ini, Jadi melanjutkan, pengusaha di Batam lebih mengandalkan jaringan sendiri untuk mendatangkan investornya. Padahal jika investasi terjadi yang diuntungkan adalah BP Batam.

Pakar Hukum Bisnis Ampenan Situmeang sebelumnya, juga menegaskan, penegakan hukum yang memberikan jaminan kepastian investasi adalah syarat mutlak yang dibutuhkan investor.

Selain itu, hukum juga harus memberikan perlindungan terhadap investor minoritas agar bisa mendapatkan haknya dalam berinvestasi.

"Investasi butuh kepastian dan kepatuhan pada aturan yang berlaku. Investor asing pun harus tunduk dan mengikuti aturan pemerintah Indonesia, tidak bisa seenaknya," tutur Ampenan.

Terkait polemik investasi Tiongkok di Pulau Janda Berhias, Ampenan melihat hal itu lebih kepada persoalan B to B (Business to Business) sehingga proses penyelesaiannya harusnya oleh investor bersangkutan.

"Ini adalah ranah B to B yang harus diselesaikan diantara pihak yang berselisih. Jika tidak bisa didamaikan, jalur Arbitrase adalah jalan terbaik," katanya.

Sementara itu kuasa hukum PT Mas Capital Trust (MCT), pemilik lima persen saham di PT West Point Terminal (WPT) Defrizal Djamaris mengatakan, terhentinya proyek pembangunan depo minyak di kawasan Westpoint Maritime Park murni disebabkan perselisihan di WPT.

Sinomart KTS Development Limited sebagai pemegang 95 persen saham WPT berupaya melakukan penunjukan langsung kontraktor pembangunan depo minyak tersebut.

Namun, tindakan itu merupakan pelanggaran terhadap perjanjian para pemegang saham yang telah disepakati kedua pihak ketika mendirikan WPT.

Sementara itu PT Batam Sentralindo (PBS) Julius Singara melalui kuasa hukum PBS, sebagai pengembang dan pengelola West Point Maritime Park memastikan bahwa perusahaan sudah melunasi kewajiban dan telah membangun kawasan industri dari semula hanya pulau seluas 22 hektar menjadi 130 hektar lahan siap pakai berstandar international.

"Perjanjian sewa lahan seluas 75 hektar di Westpoint Maritime Park oleh PT West Point Terminal telah sesuai ketentuan hukum dan berdasarkan kesepakatan B to B," katanya.

(E008/N004)

Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017