Negara butuh wewenang besar dan keleluasaan, karena ancaman terorisme akan selalu ada untuk rentang waktu yang sulit diprediksi."
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo menilai Arab Saudi menjadikan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai mitra kepercayaan untuk memerangi aksi terorisme karena kemampuannya yang telah diakui dunia sehingga patut di apresiasi.

"Pilihan Arab Saudi untuk menjadikan Polri sebagai mitra mencerminkan kepercayaan dan pengakuan akan kompetensi dan kualifikasi Polri memerangi terorisme," kata politisi Partai Golongan Karya (Golkar) itu di Jakarta Senin.

Pemerintah Arab Saudi dan Pemerintah Republik Indonesia pada Rabu (1/3) telah menanda tangani sebelas perjanjian kerja sama antar-kedua negara. Salah satunya kerja sama antara Kepolisian Kerajaan Arab Saudi dan Polri, yang disaksikan Raja Salman Salman bin Abdulaziz Al Saud dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.

Bambang mengemukakan bahwa kerja sama Kepolisian Kerajaan Arab Saudi dan Polri tampak jelas masuk dalam prioritas Raja Salman dan Presiden Jokowi, karena dokumen nota kesepahamann kepolisian kedua negara itu termasuk dalam 11 nota kesepahaman yang disiapkan, kemudian ditandatangani Kepala Kepolisian Arab Saudi Lieutenant General Othman bin Nasser al-Mehrej dan Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian.

Apalagi, ia berpendapat, momen penandatanganannya disaksikan langsung oleh Raja Salman dan Presiden Jokowi. Bahkan, Raja Salman saat berpidato di DPR pun menekankan pentingnya kerja sama menghadapi terorisme.

Penguatan unit-unit anti-teror, seperti Detasemen Khusus (Densus) 88 Markas Besar (Mabes) Polri menjadi kebutuhan mendesak. Kebutuhan itu tercermin pada pilihan kerja sama Polri dan Kepolisian Kerajaan Arab Saudi juga disepakati untuk memerangi terorisme dan radikalisme.

Dengan kesepakatan ini, menurut Bambang, Arab Saudi secara tidak langsung mengingatkan Indonesia tentang betapa seriusnya ancaman terorisme masa kini.

Ia menegaskan kerja sama itu diyakini sebagai pilihan dan kehendak Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud, sehingga kesepakatannya langsung ditandatangani oleh kepala kepolisian kedua negara.

Sebelum kesepakatan itu ditandatangani, Raja Salman juga telah mengutus Usman al Mughrij, menemui Jenderal Tito di Jakarta pada Selasa 28 Februari 2017. Keduanya membahas strategi menangkal potensi ancaman terorisme.

Dari pertemuan itu, Indonesia dan Arab Saudi sepakat memerangi kejahatan lintas negara. Ada belasan poin kesepakatan. Tetapi prioritasnya adalah merespons terorisme masa kini.

Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Osama Mohammad Abdullah Alshuaibi, sempat mengemukakan bahwa hal terpenting adalah kesepakatan memerangi ISIS, sehingga Kepolisian Kerajaan Arab Saudi dan Polri merumuskan strategi memerangi terorisme dan pendanaannya

Bambang menilai bahwa kesepakatan itu sangat penting dan strategis bagi kedua negara, terutama Indonesia yang terus dibayangi ancaman terorisme.

Sedangkan, menurut dia, Arab Saudi juga pernah menjadi target serangan teroris, sebagaimana tercermin dari peristiwa tiga serangan bom bunuh diri pada Juli 2016, yang salah satunya terjadi di dekat Masjid Nabawi, Madinah.

Bambang menegaskan bahwa alasan dan pertimbangan dibalik Kesepakatan Polri dan Kepolisian Kerajaan Arab Saudi itu diharapkan dapat menginsipirasi DPR dalam merevisi Undang Undang (UU) Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme karena  Arab Saudi telah mengingatkan betapa seriusnya ancaman terorisme masa kini.

Selain itu, ia mengemukakan, dengan menjadikan Polri sebagai mitra, maka Arab Saudi juga ingin menegaskan bahwa komunitas internasionasangat mengharapkan peran signifikan Indonesia dalam merespons jaringan ISIS, terkait dengan kompetensi dan kualifikasi Polri untuk pekerjaan itu.

"Dengan begitu, cukup alasan jika revisi UU pemberantasan terorisme memberi akses bagi perluasan wewenang dan keleluasaan negara menindak siapa saja yang terindikasi sebagai teroris. Negara butuh wewenang besar dan keleluasaan, karena ancaman terorisme akan selalu ada untuk rentang waktu yang sulit diprediksi," katanya.

Apalagi, teroris masa kini terus mengembangkan kemampuan sejalan dengan perkembangan teknologi modern dan mampu membentuk sindikasi melalui bentang jaringan di berbagai negara, dan untuk mengantisipasi masa depan ancaman terorisme itu Indonesia harus terus memperkuat berbagai anti-teror layaknya Densus 88, demikian Bambang Soesatyo.

Pewarta: Jaka Suryo
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017