Selalu menjadi enigma tak berkesudahan kenapa ada orang-orang yang dengan keyakinan begitu kuat cenderung memelihara watak ekstremis radikal sehingga tak punya keraguan sedikit pun untuk mempertanyakan kebenaran yang didekapnya.

Spiritualis Anthony de Mello pernah berspekulasi bahwa metode yang digunakan untuk melahirkan seorang teolog yang begitu teguh dengan imannya tak berbeda dengan cara yang bisa dipakai untuk melatih kaum teroris.

Dengan kata lain, mendidik seseorang dengan satu doktrin kebenaran yang tunggal, yang tak menawarkan alternatif pemikiran tentang kebenaran hanya akan melahirkan kaum ekstremis radikal.

Tentu spekulasi seperti yang dilontarkan Mello hanya satu dari sekian banyak variabel yang mewujudkan kepribadian kaum ektremis radikal, dari ranah komunitas apa pun, sistem iman mana pun.

Tanpa mengabaikan konteks sosio ekonomi kultural, dengan bertumpu pada spekulasi di atas, dapatlah diasumsikan bahwa untuk mencegah lahirnya kaum ekstremis radikal yang menjadi antitesis karakter moderat demokrat yang memberi ruang bagi keraguan diri, perlulah sejak dini basis-basis komunitas, pusat-pusat pemelajaran, membuka akses bagi setiap individu untuk melapangkan spektrum pemikiran mereka.

Di lingkungan sosial yang belum banyak tersentuh hasil pusat-pusat keunggulan yang melahirkan banyak pemikiran modern, tak mudah bagi seorang anak didik memperoleh kesempatan untuk melapangkan horizon pengetahuan mereka.

Berapa banyak, misalnya, mereka yang lahir di dasawarsa 70-an, beroleh kesempatan menyimak dan merenungkan khazanah pemikiran eksistensialisme yang di Tanah Air pernah diramu dengan format yang enak dibaca dan tak sulit dipahami. Sang peramu tak lain tak bukan adalah Fuad Hasan, dosen psikologi yang kemudian diangkat rezim Soeharto menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Membaca buku itu di kala seseorang sedang dalam tahap perkembangan usia keemasan, taruhlah seperti saat duduk di bangku sekolah menengah atas, atau awal-awal kuliah di perguruang tinggi, dapat memperluas horizon pengetahuan tentang kebenaran, etika kemanusiaan universal, yang tak mungkin didapat jika seseorang hanya berkutat dengan sistem keyakinan sektarian parokhial yang menunggalkan kebenaran dalam dirinya.

Dalam setiap sistem iman selalu ada dua kelompok pengiman yang berseberangan dalam memandang perlu tidaknya seseorang melapangkan spektrum pemikiran. Kelompok pertama dipenuhi oleh mereka yang berjuang agar komunitas mereka tetap berada dalam zona kemurnian iman sehingga penjelajahan ke ranah yang secara kasar disebut sebagai liberalisme pemikiran dinilai tak perlu karena merusak dan menodai keyakinan yang sudah ditanamkan sejak lahir oleh orang tua.

Kelompok kedua adalah mereka yang terpesona oleh kahazanah pemikiran yang datang dari mana pun sumbernya, tak peduli dari kubu keimanan sendiri atau dari kubu yang berseberangan dengannya. Dalam konteks Indonesia, kelompok ini mulai tumbuh dengan suburnya, salah satunya di kalangan para pemikir muda Nahdlatul Ulama, yang menyerap pengetahuan nonagama dari pusat-pusat keunggulan negeri-negeri sekular seperti Amerika Serikat, Australia maupun negeri-negeri di Eropa.

Dari kelompok kedua inilah kahazanah pemikiran baru, yang salah satunya lahir dari tafsir terhadap teks keagamaan, bermunculan. Tidaklah mengherankan jika seruan untuk memerdekakan diri dalam menjelajahi ide-ide tentang kebenaran, etika kemanusiaan universal, sangat lantang digaungkan oleh kelompok ini.

Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi yang membuka seluas-luasnya mengakses peranti memperoleh dan menyebarkan gagasan tampaknya memihak kelompok kedua ini. Mereka ini berkesempatan untuk mendistribusikan gagasan mereka di media sosial yang tak lagi dikekang oleh otoritas birokrasi maupun keulamaan yang begitu berkuasa di zaman pramedia sosial.

Memang terasa miris di benak kaum konservatif menyaksikan gegap-gempita pemikiran hiperliberal yang mulai disanjung kaum muda Muslim liberal. Itu sebabnya para pemeluk konservatisme itu tak henti-hentinya berjuang sekuat daya mereka membatasi diri dan pengikutnya dalam menjelajah ide-ide baru yang bertebaran di jagat maya.

Seruan untuk hanya mendasarkan diri pada teks-teks religius dasar begitu gencar mereka kumandangkan, namun tentu saja semua itu terdengar lirih berhadapan dengan tsunami informasi yang melimpah, yang bermuatan pemikiran liberal yang menyilaukan para pendatang baru dalam jagat pemikiran liberal.

Yang ironis, yang agaknya bisa membuat pejuang kemerdekaan ekspresi Voltaire menangis andai menyaksikan apa yang terjadi dalam era liberal dengan platform multimedia saat ini, adalah terjadinya pelenyapan hak menyatakan ekspresi diri dari kelompok yang dikhawatirkan melahirkan kaum ekstremis radikal.

Yang lebih ironis lagi, sokongan terhadap pelenyapan hak ekspresi itu, yang bisa dimetaforakan sebagai pedang bermata dua, juga datang dari para aktivis yang mendaku diri sebagai pejuang demokrasi. Mereka inilah yang agaknya tak pernah menyelami kata-kata kunci dalam paradigma sistem demokrasi: meskipun aku tak sependapat denganmu, aku membela hak-hakmu untuk menyuarakan pendapatmu.

Di sinilah paradoks demokrasi yang tak disadari oleh pegiat demokrasi terjadi. Mereka tak sadar karena dalam perjalanan panjang atau pendek, pedang bermata dua itu bisa memenggal leher sang aktivis. Itu menyangkut kepentingan pribadi kaum pegiat kemerdekaan ekspresi.

Bagi ikhtiar mereduksi benih-benih lahirnya kaum ekstremis radikal pun situasi yang mempersempit ruang akspresi itu agaknya layak diratapi. Sebab, situasi itu tak kondusif bagi usaha memperlapang spektrum pemikiran yang sangat urgen untuk mengerdilkan, kalau bukan mematikan, pertumbuhan dan perkembangbiakan kaum ekstremis radikal.

Oleh M Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017