Jakarta (ANTARA News) - Karya pertama Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie di dunia literasi muncul pada 2010 melalui novel berjudul "Indigo Girl". Setelah novel perdana, setiap tahun Ziggy meluncurkan buku-buku baru secara produktif. Dalam tujuh tahun, ia sudah menerbitkan 27 judul novel.
Pada 2015, "Di Tanah Lada" keluar sebagai juara kedua Sayembara Buku Novel Dewan Kesenian Jakarta.
Tahun berikutnya, novel "Semua Ikan di Langit" jadi pemenang utama. Para dewan juri memutuskan tidak ada pemenang kedua dan ketiga karena perbedaan mutu tajam antara karya Ziggy dengan naskah lain.
Salah satu juri, Zen Hae, memuji "Semua Ikan di Langit" yang disebutnya sebagai gabungan kompleks dengan ramuan banyak jurus cerita, sebuah adukan antara cerita anak, fantasi, fiksi ilmiah, dongeng hingga mitos penciptaan dunia.
Ziggy sendiri mengatakan novel yang ditulis hanya dalam tiga pekan itu sebenarnya berisi curahan hatinya sendiri, bukan tulisan kontemplatif seperti komentar sebagian pembaca.
Penulis kelahiran Bandar Lampung 23 tahun silam itu berbincang dengan ANTARA News mengenai awal mula terjun di dunia menulis hingga skripsi yang tak kunjung usai.
Tanya (T): Bagaimana cerita di balik penerbitan buku pertama Indigo Girl?
Jawab (J): Aku waktu itu lagi sakit, jadi tiga hari enggak sekolah. Selama tiga hari biar enggak nganggur aku nulis. Terus aku sebenarnya habis ke Gramedia dan memang ada pengumuman soal salah satu penerbit buku, (aku berpikir) tapi kan karena penerbit kecil mungkin mau kali ya menerima (naskah). Ya sudah kukirim saja.
T: Sebelum menerbitkan buku pertama Indigo Girl (2010), apakah kamu sudah membuat banyak tulisan sebelum akhirnya terbit?
J: Enggak. Aku bahkan enggak bisa nulis diary. Enggak suka. Enggak bisa. (tertawa). Jadi ini betul-betul kayak out of nowhere saja.
T: Kamu enggak nulis diary, tapi bilang "Semua Ikan di Langit" adalah isi curhat?
J: Kan save personal life for the public. Kalau diary tuh apa sih, cuma dibaca sendiri, enggak ada yang apresiasi (tertawa).
T: Waktu kecil pernah bercita-cita jadi penulis?
J: Enggak, aku waktu kecil ingin jadi kondektur bus seperti yang saya tulis di "soal penulis". Tapi mama bilang itu karena saya suka lihat kondektur bus punya banyak uang. Saya pikir "oh berarti orang itu orang kaya". Logic. Tapi… enggak… Tidak berminat jadi penulis.
T: Sejak kapan mulai menulis?
J: Mungkin kelas 5 SD, tapi enggak serius juga sih. Ini enggak pernah diseriusin sampai lulus SMA.
T: Setelah lulus SMA, fokus menulis?
J: Saya tidak fokus. Sama sekali tidak fokus. Enggak tahu, kalau nulis itu kayak sebetulnya memang dibilang bisa setiap saat, tapi betul-betul kayak angin-anginan saja. Enggak tahu sih, aku enggak fokus kuliah, enggak fokus nulis, enggak ada fokusnya. Betul-betul kayak divided.
T: Berarti kamu bukan tipe orang yang membuat jadwal menulis?
J: Oh, tidak. Aku dulu kayak begitu terus aku stres sendiri. Jadi aku memutuskan untuk tidak melakukannya lagi.
T: Kamu butuh situasi khusus untuk bisa menulis?
J: Sebetulnya enggak ada situasi khusus, cuma aku paling enggak bisa kalau ada orang yang ngeliatin. Soalnya keluarga gue itu lumayan nosy jadi kalau mulai ngerjain sesuatu di laptop pasti suka ada yang ngintip gitu di belakang, paling enggak suka (tertawa). Jadi, selama enggak ada keluarga bisa di mana saja.
T: Kalau bukan keluarga, siapa pun, enggak terganggu?
J: Soalnya jarang hangout juga sih sama teman-teman. Dan kalau hangout sama teman-teman ya konteksnya hangout, bukan ingin buka laptop dan main-main. Jadi ya memang fokus ke orang. Tapi kalau keluarga kan kayak nyantai sambil ngerjain, karena setiap saat di rumah kan, jadinya ya terganggu. Tapi kalau sama teman-teman sih enggak tahu, enggak pernah merasakan. Karena memang enggak pernah kerja di depan teman-teman.
T: Jadi biasanya menulis di rumah?
J: Di mana saja sih. Di kosan, di kafe juga kadang-kadang, tapi lebih nyaman di kosan sih memang, bisa dikondisikan sesuai keinginan.
T: Kalau bikin buku, judul duluan atau belakangan?
J: Belakangan. Saya tidak suka bikin judul.
T: Ada judul buku yang paling sulit dibikin?
J: Apa ya? Enggak ada yang spesifik sih soalnya kalau judul selalu under pressure. Aku enggak suka ngasih judul. Kalau bisa enggak dikasih judul sih aku enggak kasih judul. Ini (menunjuk ke poster "Semua Ikan di Langit") juga ceritanya out of nowhere. "Ikan di langit", ya sudah, kayaknya oke. Ini satu-satunya judul yang dipuji sama orang soalnya sisa-sisanya memang betul-betul crap.
T: Kalau buku yang paling susah bikinnya apa?
J: Sebetulnya aku suka sih pas nulis ini (Semua Ikan di Langit) tapi situasinya sedang tidak mendukung jadi enggak tahu sih bisa dibilang suka atau tidak. Soalnya waktu nulis cerita ini aku lagi depressed banget. Tapi yang paling aku suka secara overall mungkin "Saving Ludo" yang diterbitkan Mizan. Soalnya itu memang pertama kalinya aku nulis soal yang agak spiritual.
T: Suka baca komentar netizen?
J: Biasanya sebulan pertama aku baca, setelahnya aku bosan. Soalnya secara overall opini publik bakal kayak begitu saja. Kira-kira tahu gambaran kasarnya seperti apa.
T: Komentar negatif?
J: Tidak usah dipikirkan. Namanya juga selera orang. Banyak buku terkenal yang aku enggak suka, memang namanya selera.
T: Paling suka menulis genre apa?
J: Agak lebih suka fantasi sih. Enggak ada alasan macam-macam. Mungkin yang paling enggak suka romance soalnya enggak connect. Sebenarnya enggak spesifik juga sih. Tergantung memang ceritanya kayak gimana dan mau cerita apa.
T: Horor? Thriller?
J: Biasa saja. Soalnya aku enggak percaya hantu jadi agak gimana ya kalau menulis (horor).
T: Kalau thriller nonhantu, misalnya detektif?
J: Dulu aku suka, tapi ke belakang aku jadi suka insecure sendiri karena di Hukum belajar forensik. Aku jadi tahu 'kayaknya ini bakal salah' jadi aku kayak self concious dan sudah enggak mau ngerjain kayak gitu lagi.
T: Di keluarga apakah ada yang suka menulis juga?
J: Enggak juga sih. Kakakku yang pertama dulu sempat suka nulis puisi tapi memang enggak diseriusin. Kalau kakakku yang kedua enggak suka tapi dia… dia yang nulis diary. Dan diary-nya selalu dibacakan tiap malam. Jadi sangat tidak private (tertawa). Jadi kami tahu semua mengenai… tidak ada rahasia lagi di dalam kehidupan beliau. Tapi.. enggak sih, mereka enggak ada yang serius menulis. Kalau mama dulu lumayan suka puisi tapi dia juga sama kayak mbakku, memang enggak mendalami. Cuma hobi saja. Tapi dia dulu orang teater sih, enggak tahu juga sih, sebenarnya enggak ada hubungannya sama menulis, cuma… ya…
Ziggy awalnya merahasiakan karya tulisnya pada keluarga karena merasa malu. Ketika rahasia itu terbongkar dan sang ayah membaca bukunya, Ziggy mogok bicara dengan ayahnya selama dua pekan.
T: Kamu katanya dulu malu saat novel dibaca keluarga…
J: Sampai sekarang juga sebenarnya.
T: … Sampai sekarang? Buku yang baru sudah dibaca?
J: Ya makanya saya sangat tertekan tiba di sini (peluncuran). Aku sebenarnya launching ini aku bilang enggak usah ada aja. Tapi dari promosi ya… pasrah saja. Aku kalau nerbitin novel enggak suka ngomongin, makanya…
T: Andai ada kesempatan mengadaptasi buku kamu jadi film, pilih yang mana?
J: Aku enggak memikirkan akan difilmkan… (berpikir) kok sulit ya pertanyaannya. Enggak tahu. Tapi mungkin kalau yang mau yang realistis untuk produksi Indonesia aku pilih "Jakarta Sebelum Pagi".
T: Setelah "Semua Ikan di Langit", mau nulis apa lagi?
J: Mau menyelesaikan skripsi, sudah dimarahi dosen, sudah satu semester bolos.
T: Bolos gara-gara mengerjakan "Semua Ikan di Langit"?
J: Enggak juga.
T: Ada target lulus?
J: Tidak, tidak punya target apa-apa. Nanti kalau pasang target, stres lagi.
T: Semoga cepat lulus ya.
J: Terima kasih, dosen saya juga sudah bosan (tertawa).
(Baca: Bincang-bincang bersama Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (2))
(Baca: Bincang-bincang bersama Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (2))
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017