Jakarta (ANTARA News) - Kesetaraan gender pada mata rantai pasok pengelolaan suatu usaha berpotensi untuk meningkatkan produktivitas perusahaan tersebut, apalagi lebih dari setengah UMKM di Indonesia dimiliki atau dipimpin oleh perempuan.

"Meskipun perempuan mengendalikan lebih dari 20 triliun dolar AS dalam pembelanjaan konsumen setiap tahunnya, namun ironisnya hanya satu persen dari usaha yang dimiliki atau dipimpin perempuan yang bisa jadi pemasok dalam memenuhi kebutuhan barang atau jasa tersebut," kata Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) Suryani F Motik di sela-sela acara Womens Business Forum 2017 di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, kecilnya jumlah pemasok dari perusahaan perempuan bukan karena jumlah pengusahanya yang sedikit, namun karena rendahnya akses bagi pengusaha perempuan untuk dapat masuk ke pasar mata rantai pasok.

Untuk itu, ia juga mengutarakan harapannya agar adanya kebijakan perusahaan maupun pemerintah yang peka terhadap aspek gender dalam pengadaan barang dan jasa, baik yang dilakukan oleh korporasi maupun oleh pemerintah.

Dalam pidato pembukaan acara tersebut, IFC Asia Advisory Manager for Financial Institution Group, Rachel Freeman mengungkapkan, perempuan menjalankan lebih dari setengah perusahaan kecil dan sepertiga dari perusahaan menengah di Indonesia.

"Oleh sebab itu kami percaya bahwa kebijakan pemasok yang inklusif dan mengedepankan keberagaman, seperti sistem pembelian yang peka terhadap jender, akan meningkatkan peluang bagi perusahaan yang dimiliki perempuan untuk dapat berperan aktif dalam perekonomian bangsa dan menjaga kelanggengan usahanya," paparnya.

Sebelumnya, dalam diskusi "Business Summit" yang merupakan bagian dari KTT Asosiasi Negara Lingkar Samudera (IORA) juga menyimpulkan bahwa inovasi digital dalam era pascamodern seperti sekarang ini merupakan perangkat yang dinilai akan sangat membantu pemberdayaan kaum perempuan secara global, termasuk di kawasan IORA.

Salah seorang pembicara dalam "Business Summit" KTT IORA itu, CEO CIMB Group Tengku Dato Sri Zafrul Aziz yang berasal dari Malaysia mengatakan, hanya sekitar 46 persen wanita di kawasan Asia Tenggara yang memiliki rekening bank, sedangkan lebih kecil lagi perempuan yang mendapatkan akses kepada pinjaman perbankan.

Sementara itu, CEO Austrade Australia Stephanie Fahey mengingatkan bahwa dengan inovasi digital yang kerap disebut sebagai era revolusi industri 4.0, warga masyarakat juga bisa melakukan transfer dana hanya dengan menggunakan telepon seluler tanpa harus memiliki atau membuka rekening bank.

"Pengembangan transdigital masa depan juga dapat menciptakan kesempatan bagi kaum perempuan," katanya.

Stephanie Fahey juga menyatakan, aspek pendidikan juga merupakan hal yang penting, terutama untuk mengajak wanita untuk menempuh jalur pendidikan di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika.

Di negara asalnya yaitu Australia, dia menyatakan bahwa kebijakan Negeri Kanguru tersebut adalah mendorong perempuan untuk lebih banyak berkecimpung di ilmu matematika dan sains.

Sedangkan Presiden Black Business Council Afrika Selatan Danisa Baloyi menyatakan sepakat bahwa inovasi digital seperti perkembangan teknologi seluler mengubah nasib banyak warga.

"Jika Anda melihat benua Afrika, ponsel telah mengubah kehidupan sehingga semakin memudahkan masyarakat untuk berkomunikasi dan bertransaksi di banyak daerah pedesaan," katanya.

Dia juga mengajak berbagai pihak untuk dapat berbuat lebih dalam rangka memberdayakan kaum perempuan, terutama dengan memberdayakan kemampuan "multitasking" yang kerap dimiliki banyak wanita.

(M040/B012)

Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017