"Saya hanya berharap space kosong yang ditutup warna hipster di poster itu nantinya tidak diisi oleh Go Ahead. Seperti tugas komunikasi cetak, kamu harus selalu memberi dummy di mana sponsor bisa berdiri dan mengencingi semua idealisme kamu tentang kesuksesan".

Paragraf tersebut ditulis oleh pegiat skena independen Tiok di halaman pertama Popcore Zine #1 yang terbit September 2016 di Jakarta sebagai bentuk sindiran pada banyaknya acara musik yang disokong oleh industri rokok.

Popcore adalah acara kolektif indiepop bulanan di Jakarta, yang pada setiap acaranya juga merilis kaset kompilasi berisi karya para penampil di setiap edisinya lengkap dengan majalah kecil yang disebut fanzine.

Fanzine sebesar buku tulis tersebut diedarkan dalam bentuk foto kopi dan memuat propaganda mereka tentang bagaimana seharusnya skena indiepop dibangun, termasuk mengenai campur tangan sponsor besar yang sebaiknya tidak mengeksploitasi skena tersebut.

Popcore yang dipenggawai oleh Arief Wijaya, Tiok, Fadli Aat, Peter Walandouw, dan Andri Rahadi ada karena mereka resah dengan dominasi sponsor rokok pada acara-acara skena independen di Indonesia.

"Kami sudah gerah aja, karena semua acara disponsori rokok, hingga muncullah ide untuk buat acara Popcore ini," kata Arief Wijaya, salah satu yang terlibat di Popcore.

Menurut mereka, indiepop yang lahir dari semangat kemandirian sudah selayaknya berjalan pada khitahnya sebagai skena yang tak bergantung pada keinginan kapital besar seperti korporasi rokok.

Popcore pertama hadir pada 24 September 2016 di Borneo Beerhouse Kemang, menampilkan Sharesprings, Fernie Suedan dan The Silent Love.


Urunan

Popcore memang digelar untuk pertunjukan skala kecil. Biasanya mereka menggunakan ruangan berkapasitas puluhan orang seperti di Borneo Beerhouse Kemang atau di Xabi Space, Jakarta Selatan.

Orang-orang yang terlibat di dalamnya urunan menggunakan uang pribadi untuk menyelenggarakannya.

Mereka mematok harga Rp35 ribu bagi pengunjung yang ingin menikmati tiga band pilihan mereka, sementara bundel kaset kompilasi dan fanzine hanya dicetak 100 eksemplar dibanderol Rp60 ribu.

Penjualan tiket serta kaset kompilasi dan fanzine memang tidak menghasilkan untung besar, tetapi sampai saat ini acara tersebut masih berlangsung.

Hingga April 2017, Popcore telah digelar enam kali. Grup seperti Damascus, Sunny Summer Day, The Wellington, Humsikk, dan Gascoigne termasuk di antara yang pernah tampil di ajang itu.

Semangat dan sikap yang sama pada korporasi rokok disuarakan juga oleh label rekaman independen asal Jakarta, Kolibri Rekords.

Kolibri berupaya meminimalkan campur tangan sponsor rokok dalam setiap acara yang mereka garap, mereka menganggap sponsor dapat mempengaruhi kemandirian skena.

Belum lagi dampak kehadiran sponsor rokok lewat ornamen-ornamen merek mereka di setiap sudut tempat pertunjukan pada estetika acara.

"Kolibri sangat mementingkan visual. Kalau kami harus nambah-nambahin logo rokok itu ngeganggu banget," jelas Daffa Andika, salah satu penggagas Kolibri Rekords.

Daffa berpendapat kegiatan bersponsor rokok yang selalu menggratiskan penonton untuk menikmati acara musik dapat mematikan skena indie, sebab orang yang baru mengenal skena ini akan langsung terpapar pandangan kalau gigs indie itu harus gratis.

Mereka akan malas datang ke acara kecil yang menampilkan band-band kecil, karena pada acara rokok mereka sudah bisa menikmati penampilan band besar secara gratis.

Jika hal ini terus terjadi, akhirnya para pelaku skena baru akan berjarak dengan idealisme yang selama ini dipegang komunitas independen.

"Generasi sekarang banyak yang enggak tahu kalau indie itu berawal dari konsep kemandirian, akhirnya mereka tidak mempersalahkan sponsor rokok," kata dia.

Kolibri, yang dibentuk oleh Daffa dan Ratta Billa Baggi, juga aktif menggelar acara untuk menghidupkan skena indie, salah satunya "Internet Fwendz".

Untuk menikmati penampilan musisi seperti Grrrl Gang, Low Pink dan Bedchamber, penonton harus membayar Rp20 ribu, atau jika datang berdua bisa mendapatkan harga lebih murah yaitu Rp15 ribu per orang.

Kolibri memang tak mematok harga mahal untuk gigs kecil mereka. Itu dimaksudkan agar para penikmat baru mempunyai kepedulian terhadap skena tersebut.

"Setidaknya dengan membayar, mereka akan menyaksikan seluruh penampil, jadi ada apresiasi terhadap band-band yang main," kata dia.

Sama seperti Popcore, Kolibri juga mengeluarkan dana dari kantung pribadi untuk menggelar semua kegiatan mereka.

Untuk membuat acara dengan penonton sekitar 150 orang, mereka menghabiskan dana hampir Rp3 juta.

Hasil penjualan tiket dan produk lainnya selama ini hanya mampu menutup modal, dan tak jarang mereka malah merugi.

Walau begitu mereka belum berpikiran untuk mundur, karena selain senang mengorganisasi acara, mereka juga yakin bahwa akan selalu ada jalan untuk membuat acara ini tetap jalan.

"Memang agak terseok-seok tapi toh masih bisa terus jalan. Tanpa modal pun kami masih bisa bikin sesuatu, dan hal itu memperlihatkan kualitas kami. Keterbatasan itu membuat kami harus lebih kreatif," kata dia.

Kini label rekaman yang berdiri pada akhir 2013 tersebut sudah dapat membentuk ekosistem sendiri. Setidaknya ada lima band yang bernaung pada Kolibri.

Meski Kolibri menolak sponsor rokok, mereka tidak memaksa band-band di bawah naungannya ikut menolak.

"Kalau band-nya mau main di acara rokok yah silakan saja, kami tidak melarang. Seperti Bedchamber pernah main di acara We The Fest, ya boleh saja, karena enggak dimungkiri main di acara mereka ya dapat bayaran yang besar," kata dia.

Kolibri punya visi membangun kembali gerakan musik independen yang mandiri serta merangkul lebih banyak potensi baru yang muncul di skena. Dan mereka yakin itu bisa dibangun tanpa intervensi pihak luar.


Oleh Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017