Dubai (ANTARA News) - Presiden Iran Hassan Rouhani, Sabtu, menyeru dilakukannya penyelidikan imparsial pada dugaan serangan senjata kimia di Suriah pekan ini dan memperingatkan bahwa serangan rudal Amerika Serikat berisiko meningkatkan ekstremisme di wilayah itu.

"Kami meminta agar lembaga pencari fakta internasional dibentuk... untuk mencari tahu asal senjata kimia ini," kata Rouhani dalam pidatonya pada Sabtu seperti dikutip Reuters.

Teheran adalah sekutu utama kawasan Presiden Suriah Bashar al-Assad dan telah memberikan dukungan militer dan ekonomi untuk upayanya melawan kelompok pemberontak dan militan IS.

Oposisi Suriah menyambut baik serangan rudal Amerika Serikat di sebuah pangkalan udara di dekat Homs pada Jumat, kelompok itu mengatakan bahwa serangan itu jangan berlangsung hanya satu kali dan mereka sendiri tidak cukup mampu untuk menghentikan pesawat-pesawat tempur pemerintah yang menggempuri daerah-daerah yang dikuasai pemberontak.

Namun, dalam kicauan tentang serangan rudal, Rouhani mengatakan, "Saya menyeru dunia untuk menolak kebijakan tersebut, yang hanya membawa kehancuran dan bahaya ke kawasan dan dunia."

"Agresi Amerika Serikat terhadap Shayrat (pangkalan udara) memperkuat ekstremisme regional dan teror, serta pelanggaran hukum global dan ketidakstabilan, dan harus dikutuk," kata Rouhani.

Iran mengatakan memiliki penasihat militer dan relawan di Suriah tapi membantah memiliki kekuatan konvensional di lapangan.

Sementara itu, Komite Internasional Palang Merah mengatakan situasi di Suriah saat ini "menjadi suatu konflik bersenjata internasional" setelah rudal-rudal Amerika Serikat menghantam pangkalan udara Suriah.

Komite tersebut memperluas kewajiban kemanusiaan kedua belah pihak untuk menangani tawanan perang.

AS menembakkan peluru kendali dari dua kapal perusaknya di Laut Tengah ke sebuah pangkalan, yang dikatakan Presiden AS Donald Trump sebagai tempat serangan senjata kimia maut dilancarkan pada Selasa.

Rangkaian tembakan rudal itu merupakan serangan langsung pertama AS terhadap pemerintahan Bashar al-Assad dalam enam tahun perang saudara.

Washington mengatakan pemerintah Suriah adalah pihak yang melakukan serangan gas beracun pekan ini di kota Khan Sheikhoun di provinsi Idlib yang dikuasai para pemberontak. Serangan menewaskan sedikitnya 70 orang, yang sebagian besar di antaranya adalah warga sipil, termasuk anak-anak.

Komando angkatan darat Suriah telah membantah bertanggung jawab atas serangan.

Kementerian pertahanan Rusia mengatakan pencemaran gas itu merupakan dampak dari kebocoran gudang senjata kimia milik pemberontak yang terkena serangan udara pemerintah Suriah.

Rusia telah melancarkan serangkaian serangan udara bersama-sama dengan sekutunya, Assad, sejak September 2015 sementara milisi-milisi Iran juga bertempur bersama pasukan pemerintah Suriah menghadapi kelompok-kelompok pemberontak dan militan Islamis.

Turki juga terlibat, melakukan serangan ke Suriah utara lebih dari enam bulan lalu untuk mendorong kelompok militan ISIS keluar dari perbatasannya dan menghadang pergerakan pasukan Kurdi.

Berdasarkan hukum kemanusiaan internasional, kalangan warga sipil dan fasilitas medis harus dilindungi tanpa memandang apakah konflik itu berlangsung secara internal atau internasional.

Pihak-pihak bertikai harus menjaga prinsip-prinsip kunci menyangkut pencegahan dan keseimbangan serta membedakan antara petempur dan warga sipil, antara infrastruktur militer dan sipil.

Prinsip-prinsip tersebut telah dilanggar oleh berbagai pihak di Suriah, kata para pemimpin negara-negara Barat dan penyelidik kejahatan perang dari Perserikatan Bangsa-bangsa.

Dalam konflik bersenjata internasional, juga ada aturan soal perlakuan terhadap petempur tertangkap, yang dianggap sebagai tawanan perang.

(Uu.SYS/A/G003/A/T008) 

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017