Jakarta (ANTARA News) - Mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Prof Budi Susilo Soepandji mengingatkan setiap langkah yang diambil pemerintah soal PT Freeport Indonesia, haruslah mempertimbangkan kestabilan di Papua.

"Freeport telah menjadi bagian besar dari pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan perkembangan masyarakat di Papua. Karena itu, perubahan kebijakan pemerintah yang bakal berdampak sosial dan ekonomi secara besar di Papua harus pula dilaksanakan pemerintah secara hati-hati," ujarnya di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, Papua memiliki posisi strategis di kawasan Asia, karena berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik dan Australia.

"Posisi Papua juga memegang peranan penting atas kestabilan kawasan Indonesia timur. Papua adalah jantung geopolitik Indonesia bagian timur," ujar mantan Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan itu.

Guru Besar Universitas Indonesia itu juga mengatakan kunjungan Presiden Joko Widodo ke Papua hingga beberapa kali telah menunjukkan kuatnya komitmen pemerintah terhadap kemajuan Papua, sehingga pemerintah tentunya telah meletakkan dasar dan memprioritaskan kesejahteraan masyarakat Papua.

Namun demikian, lanjutnya, terkait perbedaan pendapat dengan Freeport, ada potensi bahwa cita-cita pemerintah yang mulia tersebut dapat bergeser apabila tidak dibarengi dengan dialog dan komunikasi yang konstruktif.

Menurut dia, baik pemerintah maupun Freeport memiliki kesempatan emas dari proses negosiasi yang saat ini tengah berjalan, sehingga keduanya mesti sama-sama berupaya mencari titik temunya.

Ia mengharapkan, dalam mengambil kebijakan, perlu sekali dipastikan bahwa seluruh warga negara Indonesia di Papua terlindungi keselamatan dan terjamin kesejahteraannya baik dalam jangka pendek dan panjang.

Dalam mengoptimalkan kepentingan nasional, Budi mengutip Bung Karno yang pernah menyampaikan bahwa kemandirian bukan berarti tidak bekerja sama dengan bangsa lain, namun tetap bekerja sama dengan dasar saling menghormati dan menguntungkan.

"Kedaulatan adalah harga mati, namun dalam menjalankannya kita harus tetap bekerja sama dengan berbagai pihak dengan dasar saling menguntungkan," ujarnya.

Sedangkan tokoh Papua Michael Manufandu melihat ada arah positif dari proses negosiasi antara pemerintah dan Freeport.

"Masing-masing pihak sudah berusaha saling melengkapi kekurangannya," ujarnya.

Hal itu, lanjutnya, bisa dilihat dari keluarnya izin ekspor konsentrat selama delapan bulan.

Menurut dia, jangka waktu delapan bulan itu bisa digunakan untuk menemukan titik temu yang terbaik.

"Pemerintah mengakui adanya kekuatan hukum dalam kontrak karya. Tapi, pemerintah juga berpegang pada UU yang baru dan turunannya, misalnya soal divestasi saham 51 persen dan perluasan smelter. Saya yakin, ke depan, akan ada titik temunya, sehingga ada kepastian dalam berinvestasi dan tak menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat Papua lagi," kata mantan Duta Besar Indonesia untuk Kolombia itu.

Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017