Kami limpahkan dari proses penyidikan ke penuntutan."
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melimpahkan tahap dua, dari penyidikan ke penuntutan, terhadap kasus Bupati Klaten nonaktif Sri Hartini yang ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi suap terkait promosi dan jabatan di lingkungan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

"Hari ini kami melakukan pelimpahan tahap dua terhadap Bupati Klaten nonaktif Sri Hartini. Kami limpahkan dari proses penyidikan ke penuntutan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Jumat.

Febri menyatakan Sri Hartini sudah dibawa ke Semarang untuk dititipkan sementara di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Klas II A Semarang sambil menunggu proses jadwal persidangan yang akan diselenggarakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang.

KPK menetapkan Sri Hartini sebagai tersangka dugaan penerimaan suap setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Jumat (30/12/2016) di Klaten dengan barang bukti uang senilai Rp2,08 miliar dan 5.700 dolar Amerika Serikat (AS), serta 2.035 dolar Singapura dan buku catatan mengenai sumber pendanaan uangnya.

Tersangka penerima suap dalam kasus tersebut adalah Bupati Klaten Sri Hartati yang disangkakan pasal 12 huruf a dan atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto (jo) pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri sipil (PNS) atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya diancam pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Sementara itu, tersangka pemberi suap adalah Kepala Seksi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Dinas Pendidikan Klaten Suramlan dengan sangkaan pasal 5 ayat 1 huruf a dan atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017