Bangkok (ANTARA News) - Sebanyak 30 organisasi media di Thailand menandai hari Kebebasan Pers Dunia pada Rabu dengan menyerukan pemerintah militer agar menghapus peraturan yang berusaha memperketat kendali atas berita-berita di negara Asia Tenggara itu.

Seruan tersebut terjadi setelah panel reformasi yang ditunjuk junta militer menyetujui sebuah rancangan undang-undang untuk mengatur media yang menarik penolakan dari kelompok-kelompok hak asasi manusia. Kelompok-kelompok itu menyatakan RUU tersebut dirancang untuk mendorong campur tangan negara dan mengekang laporan independen.

Jika disahkan, RUU itu dapat menetapkan sebuah panel yang beranggota 15 orang termasuk dua pejabat negara dan tujuh wakil media, untuk menegawasi semua media apakah cetak, siaran atan jejaring dalam di Thailand.

"RUU itu dirancang untuk memfasilitasi campur tangan politik di media dan membatasi kebebasan pers," kata organisasi-organisasi media dalam pernyataan bersama mereka.

Pemerintah militer pada Rabu menghentikan acara yang dituanrumahi oleh Klub Koresponden Asing di Thailand (FCCT) yang fokus menyoroti hilangnya sebuah palakat revolusi untuk merayakan berakhirnya monarki absolut pada tahun 1932. Junta itu telah berusaha menghindari pertanyaan-pertanyaan mengenai hal tersebut.

Dalam sebuah pernyataannya FCCT mengatakan,"(Klub itu) bersama dengan para sejawatnya di media lokal Thailand sementara mereka berjuang untuk memelihara standar profesional dan kemerdekaan editorial khususnya dalam saat-saat yang penuh cobaan."

Pemerintah militer Thailand, yang naik ke tampuk kekuasaan dalam kudeta berdarah tahun 2014, telah mendapat kecaman internasional atas pengekangan kebebasan berbicara dan mengancam kekebasan pers, demikian Reuters.

(M016)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017