Jakarta (ANTARA News) -  Dwiarso Budi Santiarto, hakim yang memimpin sidang perkara penodaan Agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dikenal sejumlah sahabatnya sebagai sosok yang anti-suap dan anti-gertak. 

Bahkan, pria yang lahir di Surabaya, 55 tahun silam itu mendapat julukan bonek (bocah nekat), karena integritasnya sebagai hakim, ungkap jurnalis senior Ilham Bintang yang merupakan rekan istri Dwiarso dalam tulisannya, Selasa (9/5). 

Dwiarso sejak 2016 lalu menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara. 

Sebelumnya, ayah dua orang anak ini juga sempat menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Semarang Tipikor dan Hubungan Industrial menggantikan pejabat sebelumnya, Maryana SH, MH. 

Semasa menjabat di posisi itu, dia pernah menangani kasus sengketa lahan di Pusat Rekreasi dan Promosi Pembangunan (PRPP) Jawa Tengah antara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan pengacara Yusril Ihza Mahendra, yang mewakili PT Indo Perkasa Usahatama (IPU) pada 2015 lalu.   

Dwiarso memutuskan Gubernur Jawa Tengah selaku tergugat bersalah, karena melakukan tindakan melawan hukum atas penerbitan surat pengelolaan lahan dan hak guna bangunan di atas lahan sengketa PRPP. 

Pada kasus lainya, pada 2016 lalu, Dwiarso menjatuhkan pidana penjara 10 bulan pada Hendra Darmawan atas kasus penggelapan.  

Kemarin, Dwiarso sebagai hakim ketua sidang putusan perkara penodaan agama yang melibatkan Ahok, menjatuhkan hukuman dua tahun penjara pada Ahok

Sosok sederhana

Sehari-hari, menurut Ilham, Dwiarso yang merupakan lulusan dari Universitas Airlangga (S1 dan Universitas Gadjah Mada (UGM) (S2) itu dikenal sering menggunakan moda transportasi bus Transjakarta untuk bepergian dari rumah menuju kantornya di PN Jakarta Utara. 

Hingga kini, Dwiarso diketahui masih menempati rumah dinasnya. 

Selain berkiprah sebagai hakim, dia pernah menjajal diri sebagai atlet hoki dan tenis. 

Sumber: tulisan ilham bintang, pn-jakartautara.go.id, pt-semarang.go.id, pn-semarangkota.go.id, putusan.mahkamahagung.go.id  

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2017