Paris (ANTARA News) - Data bandara sampai perusahaan rawan diretas dan hampir terjadi setiap hari di seluruh dunia, menurut Erwan Keraudy, pendiri dan CEO CybelAngel--spesialis bidang keamanan siber.

Sebagai perusahaan yang memberikan solusi analisis Big Data yang melacak celah kelemahan yang dimanfaatkan oleh para peretas, CybelAngel menemukan kebocoran dokumen-dokumen sensitif serta tanda-tanda serangan siber terhadap perusahaan-perusahaan.

"Kami mendeteksi 4,3 miliar IP addresses, 1 miliar dokumen setiap hari, dan mendeteksi connected devices," ungkap Erwan, ditemui di kantornya di kawasan Montmartre, Paris, Selasa (16/5) waktu setempat.

Perusahaan Erwan yang dibentuk bersama adiknya Stevan Keraudy baru berdiri sejak tahun 2013, namun telah berkembang pesat karena ancaman kebocoran data semakin tinggi.

Kliennya berasal dari berbagai belahan dunia, yang merupakan perusahaan-perusahaan besar. Di Prancis, 50 persen dari 40 perusahaan terbesar merupakan kliennya.

"Kami menemukan data perusahaan-perusahaan tersebut tidak aman dengan bagaimana mereka memproteksinya. Kami juga mengembalikan data-data yang bocor hanya dalam waktu beberapa jam," ujarnya.

Kebocoran data yang kerap terjadi pada perusahaan-perusahaan besar, seperti yang diungkap Erwan, cukup mencengangkan.

Sebagai contoh, informasi data-data di bandara di banyak negara begitu mudah diretas dan bocor, yang bisa sangat berbahaya jika itu dimanfaatkan oleh orang-orang tidak bertanggungjawab, seperti teroris.

"Makanya kami punya hubungan sangat baik dengan polisi-polisi di dunia," katanya. 

Ia juga menemukan "blue print" sebuah bank terbesar di Eropa, tanpa mau menyebutkan nama bank tersebut. Ia juga mengungkapkan kebocoran "blueprint" sebuah satelit, dan masih banyak lagi.

"Dan 90 persen kebocoran data itu biasanya disebabkan oleh pihak ketiga, seperti supplier atau karyawan. Sering kali bukan karena mereka bermaksud jahat, tetapi mereka hanya orang-orang yang tidak mengerti kalau sudah membocorkan data," jelas Erwan.

"Ada kasus kebocoran data sebuah perusahaan aircraft, perusahaan yang sangat besar. Bagaimana itu bisa terjadi pada perusahaan besar? Setelah kami lacak, data tersebut bocor di Taiwan dari sebuah perusahaan kecil yang merupakan partner mereka yang mengerjakan salah satu perangkat pesawat," ungkapnya.

Kebocoran data, tegasnya, tidak akan pernah berhenti. 

"Ibarat penyakit, kami ini hanya seperti dokter. Semua perangkat punya kelemahan, kami hanya open servers, cari kelemahan tersebut dan membersihkannya. Tetapi para peretas mempunyai kunci, maka harus selalu waspada," kata Erwan yang memasang tarif minimal 150.000 euro per perusahaan itu.

Menurut Erwan, pemerintah bisa berperan mengurangi praktik kebocoran data lewat kebijakan mereka. Seperti yang diterapkan di Eropa, kebijakan yang disebut GDPR, memberikan pinalti kepada perusahaan yang berusaha meretas data dari perusahaan lain dengan denda 4 persen turnover dari seluruh grup perusahaan tersebut di seluruh dunia.

Pewarta: Monalisa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017