Kota Gaza (ANTARA News) - Warga Jalur Gaza tak lagi bisa menikmati air laut yang berwarna biru dan udara bersih saat mereka pergi ke pantai dan destinasi yang paling sering dikunjungi selama musim panas, akibat tingginya tingkat polusi.

Selain aroma tidak sedap yang datang dari banyak area di laut, air limbah mengalir ke laut sebelum disaring dengan baik oleh instalasi pengolahan limbah akibat kekurangan listrik.

Pantai Gaza di Laut Tengah memiliki panjang 40 kilometer, di mana ada sembilan muara limbah utama di sepanjang pesisir daerah kantung itu yang memompa sebanyak 110.000 liter air limbah per hari, kata beberapa pejabat baru-baru ini.

Sebagaimana dikatakan oleh para pejabat dan ahli, pemompaan air limbah sebanyak itu sebelum disaring sebagaimana mestinya, bisa mencemari air laut dalam skala luas dan membuat warga Jalur Gaza kehilangan tempat rekreasi selama musim panas.

Khalid Abu Ghali, Pejabat Penerangan Lingkungan Hidup Jalur Gaza, mengatakan kepada Xinhua, "Seluruh pantai berubah menjadi rawa yang tercemar dan kotor akibat air limbah yang tidak diolah."

Abu Ghali menjelaskan alasan utama di balik pencemaran ialah rendahnya kualitas proses pengolahan air limbah akibat krisis listrik.

Ia menyatakan bahkan sejulah kota praja dipaksa membuang air limbah langsung ke laut dengan menggunakan pompa sebelum mencapai instalasi pengolahan.

Dinas Sumber Daya Alam dan Energi, yang dikuasai Hamas, di Jalur Gaza mengatakan pada awal April bahwa instalasi pembangkit listrik di Jalur Gaza berhenti beroperasi total setelah kehabisan bahan bakar sampai pemberitahuan lebih lanjut.

Mereka mengatakan tak bisa membeli bahan bakar lagi untuk instalasi tersebut gara-gara pajak yang diberlakukan oleh Pemerintah Konsensus Palestina di Ramallah, Tepi Barat Sungai Jordan, atas bahan bakar. Akibatnya, harga bahan bakar naik tiga kali lipat.

Namun, Pemerintah Konsensus Palestina, pimpinan Perdana Menteri Rami Hamdallah, menyalahkan Hamas, yang mereka gambarkan sebagai pemerintah de fakto di Jalur Gaza, atas krisis listrik di Jalur Gaza sejak pertengahan 2014.

Namun, Jalur Gaza secara keseluruhan memerlukan 500 MW, sedangkan listrik yang saat ini tersedia cuma 210 MW, termasuk 120 MW yang dipasok oleh Israel dan 30 MW oleh Mesir.

Akibat ketidakmampuan pembangkit listrik, instalasi itu mengikuti dan menggunakan jadwal darurat bagi pasokan listrik sejak 2006. Jalur Gaza memberlakukan putaran delapan jam buat pasokan listrik, yang berarti listrik dipasok selama delapan jam lalu diikuti pemadaman selama delapan jam.

Tapi jika keadaan bertambah buruk, daerah kantung tersebut bisa mengalami putaran enam jam atau bahkan kurang selama musim panas dan musim dingin, ketika warga memerlukan lebih banyak listrik.

Direktur Perusahaan Limbah dan Air di Jalur Gaza Monzer Shablak mengatakan kepada Xinhua bahwa krisis serius aliran air limbah "mungkin memaksa kami menutup pantai dan melarang orang berenang selama musim panas tahun ini".

(Uu.C003)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017