Jakarta (ANTARA News) - Penggagas Anti Diskriminasi Indonesia, Denny JA dan delapan belas intelektual, pemikir, aktivis, jurnalis meluncurkan buku berjudul "Mewacanakan Kembali Demokrasi Pancasila (Yang Diperbarui)" pada saat memperingati Hari Kelahiran Pancasila, 1 Juni 2017.

Dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis, Denny mengatakan, jika tak ingin Indonesia berubah menjadi negara Islam, atau kembali ke sistem otoriter, atau menuju demokrasi liberal yang ekstrem sekuler, maka saatnya kita teguhkan kembali Demokrasi Pancasila (yang diperbarui) menjadi "the only game in town."

"Negara hanya akan stabil jika ada kesepakatan dan konsensus nasional yang baru untuk mengakomodasi kepentingan dan paham politik yang beragam," katanya.

Menurut Denny, terminologi Demokrasi Pancasila selama ini berasal dari sistem politik Orde Baru. Saat ini istilah Demokrasi Pancasila dipopulerkan. Demokrasi Pancasila era Orba itu tidak demokratis jika diukur melalui kriteria demokrasi modern.

Oleh karena itu, katanya, ada kata diperbarui dibelakang terminologi Demokrasi Pancasila untuk membedakanya dengan rezim Orba. Beberapa elemen Demokrasi Pancasila era Orba tidak lagi relevan, misalnya Dwi Fungsi ABRI, Presiden dipilih MPR, hadirnya utusan golongan di MPR yang tidak dipilih. Reformasi dan amandemen UUD 1945 sudah memperbaruinya.

Denny JA sudah juga menguji pilihan publik. Melalui survei nasional LSI, ditanyakan apakah rakyat memilih negara Islam model Timur Tengah, negara demokrasi liberal model barat, atau Demokrasi Pancasila yang tumbuh dalam kultur Indonesia sendiri?

"Yang inginkan negara Islam di bawah 10 persen. Yang inginkan demokrasi liberal dunia barat di bawah 5 persen. Sebanyak 74 persen menginginkan Demokrasi Pancasila," ujarnya.

Menurutnya, Demokrasi Pancasila yang dimaksud, bukan Demokrasi Pancasila yang dipraktikkan era Orde Baru. Di atas 70 persen rakyat menolak Demokrasi Pancasila Orde Baru. Karena itu Demokrasi Pancasila perlu diperbarui.

Denny JA menyusun konsep Demokrasi Pancasila yang diperbarui berdasarkan preferensi publik. Sebanyak delapan belas intelektual, pemikir, akademisi, aktivis dan jurnalis, menanggapinya dalam pro dan kontra. Di antara mereka: Rocky Gerung, Christianto Wibisono, Ali Munhanif, Mun'im Sirry, Hatta Taliwang, dan banyak lainnya.

Buku itu diterbitkan online. Publik bisa diakses dengan PDF atau link yang dipublikasi Denny JA di akun twitter dan facebooknya: Denny JA's World.

Denny berharap buku inin disebarkan seluasnya agar perekat bangsa yang melonggar menyatu kembali dalam tata ruang publik yang lebih akomodatif. Ini link bukunya: http://dennyja-world.com/denny-ja-buku/read/1496224748

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017