Kupang (ANTARA News) - Pengamat hukum internasional Dr Dhey Wego Tadeus, SH.MHum mengatakan sikap pemerintah Indonesia sudah tepat berkaitan dengan uji coba senjata nuklir di Semenanjung Korea yaitu penggunaan senjata nuklir dan senjata kimia untuk tujuan perdamaian dunia.

"Indonesia mendukung penerapan teknologi nuklir untuk tujuan damai termasuk program pembangunan yang mendatangkan manfaat langsung bagi kesejahteraan masyarakat," katanya di Kupang, Selasa.

Dosen Hukum Internasional Universitas Nusa Cendana Kupang itu mengatakan hal itu menanggapi Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe yang meminta Indonesia untuk lebih terlibat dan memberikan perhatian untuk mendekati Korea Utara agar menghentikan tindakan provokasi dengan uji coba senjata nuklir di Semenanjung Korea.

"Begini, karena kita dengan Korea Utara diplomatik dan dinasnya itu bebas masuk ke Indonesia, Jepang minta perhatian untuk hal tersebut," kata Wapres Jusuf Kalla usai melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Hotel Imperial Tokyo, Jepang, Senin.

Menurut Jusuf Kalla yang dikenal dengan JK, kedekatan hubungan Indonesia dengan Korea Utara dinilai Abe dapat digunakan untuk mendekati pemerintah negara yang dipimpin Kim Jong-un tersebut untuk menghentikan aksi uji coba senjata nuklir.

"Efek utama bagi yang selalu terlibat dengan nuklir ini dianggap berbahaya dan mengancam negara-negara lain, jadi kita diminta memberikan perhatian lebih," ujarnya.

Menurut Tadeus, sikap Indonesia sesuai isi Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pada bagian Indonesia berkewajiban untuk turut menciptakan ketertiban dunia.

Selain UUD 1945 sebagai payung hukum, kata dia sikap Indonesia juga didasarkan pada Undang-Undang No.8 Tahun 1978 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Pencegahan Penyebaran Senjata Nuklir.

"Jadi posisi Indonesia terhadap isu senjata nuklir mengacu pada kedua undang-undang tersebut," katanya.

Sikap Indonesia terhadap persenjataan nuklir itu juga sesuai dengan pasal 1 Piagam PBB yang menyatakan bahwa kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam PBB itu.

Penyelesaian sengketa secara damai ini, katanya kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa.

Diantaranya Negosiasi, Enquiry atau penyelidikan, Mediasi, Konsiliasi, ArbitraseJudicial Settlement atau Pengadilan, serta organisasi-organisasi atau Badan-badan regional lainnya yang berkompeten.

"Dari tujuh penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik," katanya.

Yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan judicial settlement. Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi enquiry, mediasi dan konsiliasi.

Para pihak dalam sengketa internasional dapat saja menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka ke badan peradilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ/Mahkamah Internasional).

Dan tanpa harus melalui mekanisme negosiasi, mediasi, ataupun cara diplomatik lainnya.

PBB kata dia tidak memaksakan prosedur apapun kepada negara anggotanya.

Dalam konteks nasional ia mengatakan pemanfaatan nuklir di suatu negara harus diiringi dengan adanya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) agar nuklir digunakan hanya untuk maksud damai.

"Nuklir hanya bisa bermanfaat selama ada good governance. Karena nuklir itu bisa menjadi potensi sebagai senjata pemusnah massal maka harus ada kontrol yang baik dari rakyatnya sendiri," katanya.

Pewarta: Hironimus Bifel
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017