Sekitar 64 persen dari total 459 anggota penyelenggara pemilu yang pernah diberhentikan, berasal dari Papua."
Jakarta (ANTARA News) - Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI Nur Hidayat Sardini mengatakan selama periode 2012 hingga 2017 penyelenggara pemilu di Papua paling banyak diberhentikan.

"Sekitar 64 persen dari total 459 anggota penyelenggara pemilu yang pernah diberhentikan, berasal dari Papua," kata Nur Hidayat yang ditemui di Kantor DKPP, Jakarta, Rabu.

Lebih lanjut pria yang juga Juru Bicara DKPP itu menjabarkan dari 459 penyelenggara pemilu tersebut, yang diberhentikan sementara ada 36 orang, diberhentikan tetap sebanyak 412 orang, dan yang dicopot dari jabatan ketua berjumlah 11 orang.

Ia menjelaskan faktor manipulasi penghitungan suara serta keberpihakan penyelenggara pemilu pada salah satu kandidat menjadi pelanggaran kode etik yang paling sering ditemukan DKPP selama 2012 hingga 2017 ini.

"Tapi di Papua ini ada alasan pemberhentian yang tidak ditemukan di daerah lain, yakni masalah nonelektoral.

Ilustrasinya begini, ada salah satu ketua KPU di Papua yang dipecat malah senang. Ternyata alasannya, selama ini dia dituntut harus netral sehingga tidak bisa mengikuti pesta adat kemenangan suku tertentu yang berakibat dikucilkan secara adat oleh masyarakat di sana," jelas dia.

Terkait dengan kasus tersebut, mantan Ketua Badan Pengawas Pemilu periode 2008-2012 itu menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI tidak hanya cukup memberikan sosialisasi pemilu yang lebih mendalam di Papua.

Namun, perlu juga perlakuan khusus yang disesuaikan dengan adat dan budaya masyarakat di sana, ujar Nur Hidayat.

"Bisa jadi penanganan pada adat ini berlangsung dengan melibatkan kelompok gereja serta masyarakat karena masalahnya pada unsur nonelektoral," tutur dia.

Pewarta: Agita Tarigan
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017