Jakarta (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo mengatakan agar jangan sampai ada pihak-pihak yang berpikiran untuk melemahkan KPK sebagai lembaga antirasuah yang sangat dibutuhkan Indonesia untuk menegakkan hukum.

"KPK harus kuat dan upaya pemberantasan korupsi juga tidak boleh mengendur, karena negara kita masih memerlukan upaya yang luar biasa dalam pemberantasan korupsi," kata Presiden kepada media di ruang wartawan kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta pada Selasa.

Menurut Presiden, Indonesia membutuhkan KPK yang kuat dan independen dalam memberantas kriminal korupsi.

Kepala Negara meminta agar masing-masing pihak dapat menyelaraskan konsep serta mengambil keputusan yang tepat terkait KPK dengan tujuan tetap untuk memperkuat lembaga itu, bukan melemahkannya.

"Pemikiran tersebut harus menjadi sebuah landasan dalam rangka upaya kita bersama untuk pemberantasan korupsi," jelas Jokowi.

Jokowi juga mengimbau jika KPK butuh perbaikan, maka hal itu dilakukan dengan landasan untuk memperkuat pemberantasan korupsi.

Sebelumnya, tujuh fraksi di DPR secara resmi mengirimkan anggotanya untuk masuk sebagai anggota Panitia Khusus Hak Angket untuk Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Hanura, Fraksi Partai Nasional Demokrat, Fraksi PPP, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai PAN.

KPK juga menyoroti keabsahan hal tersebut karena terdapat ketentuan pasal 201 UU MD3 bahwa unsur angket harus terdiri dari semua anggota fraksi.

Hal itu berarti semua fraksi harus menyampaikan anggotanya agar Pansus Angket memenuhi ketentuan UU.

Ketua pansus hak angket adalah Agun Gunanjar yang juga disebut dalam dakwaan korupsi KTP E. Dalam dakwaan, Agun Gunanjar Sudarsa selaku anggota Komisi II dan Badan Anggaran DPR RI menerima sejumlah 1 juta dolar AS

Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura, Miryam S Haryani, di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik.

Sementara itu pada sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.

Nama-nama anggota Komisi III itu, menurut Novel, adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa namanya. 

Pewarta: Bayu Prasetyo
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017