Ajaran agama dan ilmu harus mampu membuat umat untuk "hidup". Tanpa mampu untuk itu, agama akan ditinggalkan.
Denpasar (ANTARA News) - Hari Minggu (11/6) saya diundang untuk memberikan pidato (keynote speech) pada pembukaan "World Hindu Wisdom Meet 2017" di Denpasar, Bali, yang dihadiri cendekiawan Hindu dari berbagai negara di dunia.

Pertemuan itu sangat penting dan strategis, karena turut menentukan perjalanan Hindu dalam percaturan global.

Penyelenggaraan pendidikan Hindu, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia Hindu akan sangat menentukan eksistensi agama Hindu ke masa depan.

Pada era globalisasi saat ini, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, fenomena sosial yang mendegradasi keluhuran ajaran agama mulai merebak, mulai dari konflik antarumat, sampai pada gerakan radikalisme.

Kita harus melakukan langkah nyata untuk menyelamatkan Hindu, serta turut menjaga harmoni keberagaman di muka bumi.

Saya menyampaikan "kerisauan" pribadi atas kondisi Hindu saat ini. Bukan untuk menggurui para cendekiawan atau bahkan rohaniwan yang hadir, tetapi semata-mata "membangunkan dan menyadarkan" kita semua bahwa Hindu berada dalam tantangan global yang sangat kompleks.

Saya memulai dari gambaran sering terjadinya konflik antarumat Hindu, tidak hanya di Bali, tetapi juga di luar Bali, bahkan hampir di seluruh dunia.

Hal ini terjadi karena umat Hindu masih memahami agama pada tingkat ritual atau upacara. Umat belum memahami betul unsur "susila" (etika) dan "tatwa" (filsafat), apalagi mampu melaksanakannya.

Padahal, agama terdiri atas tiga unsur sebagai satu kesatuan, tidak dapat dipisah-pisahkan, yaitu: "tatwa" (filsafat), "susila" (etika), dan "upacara" (ritual).

Pada tataran "tatwa" (filsafat), sumber tatwa agama Hindu adalah Weda. Weda adalah sumber ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan material (aparavidya) dan spiritual (paravidya) yang juga merupakan penjabaran natural law meliputi seluruh aspek kehidupan, yang tidak dapat dibantah kebenarannya. Weda adalah sebuah ajaran dharma, kebenaran yang universal, sekaligus abadi (sanatana dharma).

Hanya dalam proses internalisasi kepada umat, metode yang diterapkan mungkin kurang tepat, sehingga belum mengarah pada terbangunnya kemauan dan kemampuan umat untuk mempraktikkan ajaran Hindu dalam kehidupan nyata, apalagi mampu membuatnya menjadi Hindu.

Dalam "tatwa", secara universal semua manusia di muka bumi percaya adanya Tuhan, adanya atman, adanya hukum karma, adanya kelahiran kembali, dan percaya moksa. Dengan demikian, tatwa bagi agama Hindu adalah nilai-nilai kebenaran universal.

Pembelajaran agama Hindu secara berjenjang harus diarahkan agar umat mengetahui (to know), kemudian mampu mempraktikkan dalam hidup (to do), setelah itu barulah untuk menjadi Hindu (to be). Semua praktik konsepsi Hindu juga mengarah pada tiga tahapan tersebut, seperti catur asrama: mulai dari "Brahmacari", "Grahasta", "Wanaprasta", sampai "Bhiksuka".

Pada tataran "susila" (etika), Hindu sudah mengajarkan tata susila dalam berbagai konsep, seperti: "Tri kaya parisudha, Tri hita karana, Vasudewa kutumbakam, Tat wam asi", serta "desa, kala, patra". Selain konsep tersebut, tentu masih banyak konsep yang sudah diimplementasikan sebagai nilai etika Hindu.

Pada tingkat upacara/ritual, "kulit luar" dari agama, sangat tergantung pada "desa, kala, patra". Inilah yang membedakan Hindu di Bali dengan Hindu di luar Bali, bahkan Hindu di seluruh dunia.

Pada akhir tahun 2016, saat Konferensi Nasional Forum Kerukunan Umat Beragama di Bali, seorang pemuka agama Islam dari Medan bertanya kepada saya, "Apakah berbeda agama Hindu di Medan dengan agama Hindu di Bali?"

Saya menjawab "berbeda, karena unsur upacaranya itu". Bahkan, di Bali saja, ada paling sedikit "1.488 agama Hindu" yang berbeda, karena ada 1.488 desa pakraman, yang dengan otonominya masing-masing memiliki konsep upacara walaupun tetap mengacu pada "tatwa" Weda.

Ketiga unsur ini, "tatwa", "etika" dan "upacara", harus diajarkan dan diterapkan seluruh umat secara utuh dalam kehidupan beragama.

Orang belum beragama, kalau hanya memahami dan melaksanakan satu atau dua unsur tersebut. Oleh karena itu, Hindu mengajarkan umat untuk menempuh jalan sesuai dengan kemampuan menuju atau menyembah Tuhan, melalui "catur marga", yaitu "bhakti marga" melalui upacara, "karma marga" melalui etika, serta "jnana" dan "raja marga" melalui Tatwa.

Menghadapi zaman global, yang menurut Profesor Rhenald Kasali, bercirikan 3S, yaitu speed, surprise dan suddenshif memicu ada pertanyaan besar, "Apa yang sedang terjadi?" dan "Mengapa Hindu kelihatannya berangsur-angsur menghilang?"

Di zaman global ini umat Hindu harus dapat hidup, memenuhi kebutuhan hidupnya dan mewujudkan kesejahteraan hidup, berlandaskan ajaran agama.

Ajaran agama dan ilmu harus mampu membuat umat untuk "hidup". Tanpa mampu untuk itu, agama akan ditinggalkan.

Kita harus berhenti berdebat dan berhenti berkonflik. Mari kita buat agama menjadi praktis, Mari kita jabarkan ajaran Weda untuk dipedomani umat, sekaligus mampu mewujudkan kehidupan umat menjadi lebih baik.

Ajaran Hindu adalah bersifat universal, sehingga harus mampu menjadi jembatan, baik jembatan antar-agama atau keyakinan, maupun jembatan antargenerasi Hindu. Kita harus hindari Hindu yang menjadi sekat, yang mengkotak-kotakkan dan memisahkan antar umatnya, atau bahkan memisahkan umatnya dengan umat lain di muka bumi.

Tantangan

Tantangan bagi para guru-guru, para rohaniwan, dan para cendikiawan Hindu saat ini adalah "Bagaimana mengajarkan kepada umat Hindu agar tidak hanya tahu dan paham ajaran Hindu, tetapi juga dapat mempraktikkan, dan pada akhirnya dapat menjadi Hindu yang sesungguhnya?"

Diperlukan pola pendidikan yang tepat sekaligus diperlukan tauladan dari para rohaniwan, dari para cendekiawan, dan dari semua yang sudah merasa Hindu.

Penyelenggaraan pendidikan yang terintegrasi, antara penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pembinaan karakter dan budi pekerti berdasar nilai-nilai Hinduism, harus mulai dikembangkan.

Sekolah-sekolah atau perguruan tinggi Hindu harus memiliki pola pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas sumber daya umat, serta mampu menerapkan ajaran Hinduism.

Sehingga, lembaga pendidikan tersebut akan melahirkan lulusan yang tidak hanya pintar menyebarkan ajaran Hindu dan memberikan pencerahan kepada sesama, tetapi juga mampu membuat lulusannya "menjadi Hindu", dan pada akhirnya mampu membuat umat hidup dan sejahtera, serta mampu bersaing dalam zaman globalisasi ini.

Pola pendidikan "pasaraman" sangat tepat dikembangkan pada semua jenjang sekolah, sebagaimana yang saya terapkan pada Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) dan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) Bali Mandara di Buleleng.

Agama ditinggalkan juga karena masih dipandang sebagai dogma atau doktrin, belum dipahami sebagai sumber ilmu, dan sumber kehidupan. Hindu akan ditinggalkan umatnya apabila tidak memberikan manfaat nyata bagi kehidupan umatnya.

Sebagaimana ilmu marketing, produk akan diterima konsumen apabila produk itu bagus, berguna, terpercaya, mudah diterapkan, praktis (good, useful, reliable, applicable, practical), dan mudah, kompak, cantik (easy, compact, pretty) serta attractive. Inilah sebetulnya penjabaran filosofi "satyam, shivam, sundaram" dalam kekinian.

Memang, agama bukan produk, tetapi dengan mengemas ritualnya sebagai sesuatu yang tidak memberatkan dan dapat dicintai umatnya, maka Hindu akan semakin berkembang dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umatnya dan bagi perdamaian dunia. Semoga!

*) Penulis adalah Gubernur Bali.

Oleh Made Mangku Pastika *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017