Canberra (ANTARA News) - Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu, TM Hamzah Thayeb, mengatakan pihak Australia mengakui keterlambatan mereka menyerahkan notifikasi penangkapan 49 nelayan Indonesia yang enam perahunya ditangkap 16 Mei lalu di perairan utara negara itu. Namun di masa mendatang, hal itu diharapkan tidak terjadi lagi untuk mencegah media massa kedua negara maupun asing lebih dahulu "mem-blow-up" (menyiarkan berita) yang dikhawatirkan bisa mengganggu hubungan yang telah semakin baik, katanya di Canberra, Rabu. "Seandainya lebih cepat (Australia mengirim notifikasi penangkapan itu-red.) bisa kita handle (tangani) baik-baik," kata Dubes Hamzah Thayeb. Kendati penangkapan terhadap 49 nelayan Indonesia itu dilakukan otoritas Australia pada 16 Mei lalu dan informasinya sudah sempat dilansir sebuah media Jerman, "notifikasi penangkapan" mereka baru diterima awal pekan ini atau setelah informasinya keluar di media. Sekretaris I/Konsuler KBRI Canberra, Meri Binsar Simorangkir, mengemukakan pada Minggu malam (20/5), pihaknya belum menerima "notifikasi penangkapan" (notification of apprehension) dari Pemerintah Australia kecuali mengetahui informasi penangkapan para nelayan Indonesia itu dari laporan media massa. Menurut Simorangkir, selama ini, notifikasi penangkapan yang sudah menjadi prosedur yang disepakati pemerintah kedua negara itu berisikan nama kapal dan jumlah awak kapal yang mereka tahan, sedangkan nama-nama awak maupun titik koordinat penangkapan tidak pernah disebutkan dalam notifikasi itu. "Padahal kita juga memerlukan nama-nama nelayan kita yang ditahan itu, karena ini penting untuk perlindungan kekonsuleran, serta soal titik penangkapan kapal atau perahu nelayan kita supaya kita bisa melakukan verifikasi bersama apakah titik penangkapan itu benar-benar berada di perairan Australia atau justru sebaliknya masih berada di perairan kita. Ini penting untuk pembelaan diri di pengadilan," katanya. Dubes Hamzah Thayeb mengatakan, Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) Joko Sumaryono dan beberapa anggota badan yang dibentuk melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 81 tahun 2005 itu sudah berangkat ke Darwin sebagai rangkaian kunjungan mereka ke Australia. "Bakorkamla ke sana dalam rangka 'protection' (perlindungan) juga. Ya mungkin bisa bekerja sama menangani `illegal fishing` (penangkapan ikan secara tidak sah-red)," kata Dubes Hamzah Thayeb. Sementara itu, dalam perkembangan lain, Konsul RI di Darwin, Harbangan Napitupulu, mengatakan, Pemerintah Australia sudah mengirimkan surat yang mengharapkan Indonesia mempercepat proses pembuatan dokumen perjalanan untuk pemulangan para awak perahu asal Desa Deka, Kabupaten Ndao, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang ditangkap 16 Mei lalul di perairan utara negara itu. "Suratnya sudah kita terima," katanya. Ia mengatakan, dari pertemuan pada Selasa (22/5) sekitar Pukul 16.30 waktu Darwin dengan para nakhoda dan awak perahu, pihaknya mendengar pengakuan bahwa mereka baru pertama kali ditangkap. Sesuai dengan peraturan Australia, para awak perahu nelayan itu bisa segera dipulangkan, sedangkan para nakhoda masih menunggu proses pengadilan setempat. Napitupulu lebih lanjut mengatakan, umumnya kondisi kesehatan para nelayan baik, dan mereka pun diperlakukan dengan baik. "Sekitar sembilan orang yang digolongkan masih anak-anak karena berusia di bawah 18 tahun tidak digabung dengan para nelayan dewasa di `Darwin Detention Center` (pusat penahanan Darwin) tetapi justru di sebuah motel bernama Motel Asti," katanya. Anak tertua yang ikut di salah satu dari enam perahu yang ditangkap itu berusia 17 tahun. "Kita baru bisa bertemu mereka pada 16.30 waktu Darwin karena pada pagi hingga siang hari, menurut otoritas setempat, ada fumigasi di fasilitas penahanan itu," katanya. Menurut Napitupulu, selama pertemuan, pihaknya juga didampingi petugas dari instansi terkait Australia seperti bea cukai dan imigrasi sehingga langsung bisa menyampaikan apa pun yang dirasa perlu terkait dengan kepentingan kasus para nelayan Indonesia. Ia mengatakan, seluruh nelayan yang ditahan di Darwin Detention Center maupun yang diinapkan di Motel Asri sudah pun dapat menghubungi sanak keluarga mereka. Radio Australia akhir pekan lalu melaporkan, ke-49 nelayan itu ditemukan di atas enam kapal ikan asing pada 16 Mei lalu di perairan dekat Taman Laut Ashmore di Laut Timor. Perahu-perahu ikan itu sebelumnya tertangkap layar pesawat pengintai pantai sebelum disergap kapal bea cukai Australia. Menteri Kehakiman Australia, David Johnston, mengatakan operasi tersebut menunjukkan hasil usaha pemerintahnya dalam menghadapi pencurian ikan. Jika para nakhoda enam perahu ikan Indonesia itu terbukti mencari ikan secara ilegal, mereka akan kehilangan perahu-perahunya karena Australia memiliki kebijakan membakar kapal-kapal nelayan asing jika para pemilik tidak bersedia membayar denda. MoU Box 1974 Terkait dengan masalah penangkapan ikan oleh nelayan tradisional, khususnya mereka yang berasal dari beberapa pulau di NTT, Anggota Komisi I DPR, Muhammad Hatta, yang ditemui ANTARA di sela kunjungannya ke Canberra Maret lalu, mengatakan, Australia sudah saatnya bersikap konsisten dalam persoalan hak-hak tradisional nelayan Indonesia, khususnya asal Pulau Rote, untuk menangkap ikan di wilayah perairan gugusan Pulau Pasir sesuai dengan "MoU Box 1974" yang sudah direvisi tahun 1989. "Sudah sepantasnya, pengakuan Australia terhadap hak-hak tradisional nelayan Indonesia itu tidak dikaitkan dengan penguasaan teknologi pelayaran dan alat tangkap. Masak para nelayan yang sudah turun temurun menangkap ikan di sana kehilangan hak-hak tradisionalnya hanya karena mereka sekarang naik perahu bermotor. Apakah mereka harus tetap mendayung, baru hak-haknya diakui?," katanya. Padahal, penangkapan ikan di gugusan Pulau Pasir oleh para nelayan di sejumlah pulau di Provinsi NTT itu sudah dilakukan turun-temurun dan jauh sebelum gugusan Pulau Pasir itu menjadi bagian dari Koloni Inggris, kata Muhammad Hatta. Karena itu, kendati kedua pemerintah sudah mencapai kemajuan dalam menangani masalah penangkapan ikan secara tidak sah (illegal fishing), dalam persoalan hak-hak tradisional nelayan kecil Indonesia, diharapkan pemerintah kedua negara memiliki kesamaan penafsiran atas makna kata "tradisional" itu, kata Muhammad Hatta . Hatta berada di Canberra untuk mengikuti pertemuan delegasi Grup Kerja Sama Bilateral DPR dengan pimpinan Parlemen (DPR/Senat) dan pejabat Pemerintah Australia. Kedaulatan Australia atas "Ashmore Islands" itu telah lama diketahui secara internasional dan diakui Indonesia sebagaimana tertuang dalam kesepakatan Perth tahun 1997 dan Nota Kesepahaman (MoU) mengenai akses nelayan tradisional Indonesia ke Ashmore Islands pada November 1974. Fakta sejarah bahwa berabad-abad lampau para nelayan tradisional Indonesia telah mencari penghidupan mereka dari sumber-sumber bahari di sepanjang utara pantai barat Australia dan di sekitar gugusan pulau karang itu pun tetap diakui Australia. Negara itu tetap mengizinkan nelayan tradisional Indonesia berlabuh guna mengambil air tawar dan mencari ikan di pulau-pulau yang telah disepakati kedua negara dalam perjanjian tersebut. Berdasarkan nota kesepahaman (MoU) 1974, seperti yang dilansir situs "Geoscience Australia" http://www.ga.gov.au/education/facts/dimensions/externalterr/ashmore.htm), kawasan yang disepakati kedua negara yang dapat dimanfaatkan para nelayan tradisional Indonesia itu adalah kepulauan karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, kepulauan karang Ashmore, Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007