Padang (ANTARA News) - Ketua Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Dr Herman Darnel Ibrahim mengemukakan bangsa Indonesia belum membutuhkan pembangkit listrik tenaga nuklir hingga tahun 2100 karena sumber energi di Tanah Air masih mencukupi.

"Umumnya negara yang membangun pembangkit listrik tenaga nuklir adalah yang tidak punya sumber energi, seperti Jepang, Prancis dan Korea, sedangkan sumber energi di Tanah Air kita masih berlimpah," kata dia di Padang, Jumat, pada seminar Inovasi Pengelolaan Sumber Daya Energi Berkelanjutan Untuk Ketahanan Nasional.

Seminar itu diselenggarakan oleh Universitas Andalas, dan menghadirkan beberapa pembicara lain di antaranya mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro .

Menurut Herman Darnel, ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir yaitu tidak ada sumber energi, jumlah penduduk banyak sehingga kebutuhan energi besar serta memiliki teknologi sendiri.

"Dari tiga kondisi tersebut Indonesia hanya memenuhi satu syarat yaitu penduduknya banyak, tapi sumber energi banyak dan belum punya teknologi soal pembangkit listrik nuklir," ujar dia.

Dengan demikian pembangkit listrik tenaga nuklir menjadi pilihan terakhir karena saat ini belum dibutuhkan, lanjutnya.

Ia melihat saat ini energi gas dan batu bara mencukupi ditambah lagi energi terbarukan potensinya besar walaupun pengembangannya masih sulit.

Akan tetapi, ia menyarankan ke depan sumber energi utama berasal dari energi terbarukan dan gas serta batu bara dijadikan sumber energi cadangan.

Herman menceritakan dulu ada rencana pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di Muria, Jawa Tengah yang tahapannya sudah sampai studi kelayakan tapak.

Ketika itu Muria memang tempat yang masih terisolasi jadi tidak banyak penghuni, namun belakangan setelah terjadi tragedi Fukushima urung dilanjutkan, katanya.

Ia menilai sebenarnya kunci pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir adalah kemantapan politik karena hal itu harus dimulai dari komitmen pemimpin tertinggi negara.

"Dewan Energi Nasional ketuanya adalah Presiden, dari 17 anggota pemangku kepentingan delapan dan sembilan orang lagi menteri, jadi kalau Presiden ingin membangun tidak bisa dihambat oleh pemangku kepentingan," ujarnya.

(Baca: Swiss larang energi nuklir, ini alasannya)

Pada sisi lain ia mengatakan energi nuklir berisiko tinggi. Tragedi yang terjadi di Fukushima, misalnya, membuat Jepang kehilangan potensi perekonomian setara dengan Rp60 ribu triliun.

Belum lagi dari sisi kesehatan, nuklir itu membunuh orang pelan-pelan dan bisa membuat cacat sebagaimana terjadi di Chernobyl, ujarnya.

Kemudian untuk pertanian juga mengalami kendala karena di Fukushima dibutuhkan waktu sekitar 25 tahun untuk memulihkan tanah agar petani bisa menanam komoditas untuk dikonsumsi, lanjut dia.

Sementara Dekan Fakultas Teknik Universitas Andalas Insannul Kamil mengatakan sudah saatnya energi terbarukan dijadikan sumber energi utama di Tanah Air dan energi fosil sebagai cadangan.

"Sudut pandang seperti ini sudah harus mulai diterapkan dari sekarang karena energi fosil lama-kelamaan akan habis," katanya.

Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017